HEART OF STONE

Fatkhiannisa Amalia Rahma
Chapter #1

Prolog

Semenjak bisnis ayahnya bangkrut, Rania terpaksa harus menggelandang di jalanan. Bukan tanpa alasan ia melakukan hal itu, semua karena terpaksa. Kedua orang tuanya memilih bunuh diri, lantaran tidak sanggup membayar hutang dan hidup miskin. Tidak ada sepintas pun pikiran akan bagaimana nasib anak mereka atau kenapa tidak mengajaknya bunuh diri juga?

Raina menghela napas―entah yang ke berapa. Gadis itu memandang karung berisikan tumpukan sampah plastik yang akan disetorkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Hari ini, ia tidak mendapatkan sampah yang banyak, dan terpaksa harus menerima upah yang tidak seberapa.

"Gak bisa nambah, Bang?" tanya Raina penuh harap.

"Gak bisa. Udah sana, awas, yang lain pada antre!"

Raina menyingkir ke samping, mempersilakan orang lain maju menimbang hasil jerih payah mereka. Awalnya ia ingin menetap sampai si Abang berubah pikiran, tetapi Abang sudah lebih dulu memberikannya pelototan.

Badan dekil, pakaian kotor, sendal jepit yang copot satu, belum lagi aroma tubuhnya yang mulai busuk membuat Raina risi. Pihak bank menyita rumah beserta harta keluarganya yang lain, hanya tersisa tas berisi pakaian―itu pun entah di mana. Raina memiliki ingatan yang lemah. Para sanak keluarga yang lain tidak ada yang mau menampung atau bahkan memberikan simpati.

"Mungkin ini karma bagi seorang pembulli," gumam Raina sambil menatap uang berwarna abu-abu di tangannya.

Dulu, ia bisa hidup enak bahkan tak segan menindas yang bawah. Ada salah satu anak yang menjadi langganan, namanya Tor, pria cupu yang menurut Raina terlalu polos untuk ukuran anak SMA. "Nyesel gue ngatain Tor kaya gelandangan, nyatanya sekarang malah gue yang begini."

Raina masih tidak percaya. Hukum karma di dunia benar-benar berlaku padanya.

"Ini, Bu, Saya ada sedikit rezeki. Dimakan, biar Ibu semangat cari nafkahnya."

"Terima kasih, Mas."

"Sama-sama, Bu."

Raina tersenyum tulus. Masih saja ada orang baik hati yang mau berbagi tanpa pandang bulu, ataupun merekam aksinya untuk dipublikasikan. Sayangnya, senyum itu langsung hilang saat tatapan Raina beradu dengan 'si penolong'. Gadis itu merasakan tubuhnya bergetar. Kakinya mulai mundur secara teratur, berbalik, kemudian lari tanpa arah. Yang penting menghindar dulu, pikir Raina.

Lihat selengkapnya