Alternatif pendidikan selain sekolah formal yakni homeschooling, memang memiliki keunggulan dalam pembentukan dan pengembangan karakter. Lebih banyak waktu yang dihabiskan bersama keluarga, serta menjamin kesehatan dan keselamatan terlebih diawasi selalu oleh orang tua.
Meski begitu, hal tersebut memicu terbatasnya ruang lingkup pergaulan atau pun pertemanan. Kurang memiliki daya saing dan interaksi juga menjadi kekurangan yang selama ini ingin disingkirkan oleh Aira.
Gadis berambut panjang itu sudah lama sekali ingin terjun langsung merasakan euforianya bersosialisasi. Setelah menghabiskan waktu belajar yang selama ini hanya dijalankan di rumah, atas izin ayahnya, detik ini serasa dia bisa menghirup udara bebas begitu akan memulai kegiatan bersekolah di sekolah umum.
"Pokoknya nanti, kalau ada kesulitan atau apapun itu, langsung kabari Papa." Pesan Andreas terlontar entah yang ke berapa kali untuk putrinya.
"Dan ingat, kalau udah ngerasa capek, langsung istirahat. Ngerasa badannya nggak enakan, langsung minum obat," imbuhnya.
Aira mengangguk saja menuntaskan acara sarapannya. Hal seperti ini pula yang dikhawatirkan kedua kakak laki-laki Aira yakni Alden dan Alvin. Sikap acuh adiknya itu membuat mereka harus beradu argumen dengan sang ayah ketika beliau mengizinkan Aira bersekolah.
Terlebih Alden yang selalu mengawasi kondisi kesehatan Aira. Profesinya sebagai dokter spesialis jantung merasa bertanggung jawab penuh terhadap pemeriksaan langsung penyakit yang diderita adiknya. Sebut saja ketakutan berlebih. Tapi nyatanya, kelainan pada otot jantung sangat beresiko dan itu cukup menghantui Alden.
Perlu dicatat, Alden sangatlah tidak setuju dengan keputusan ayahnya.
Prakk!!!
Dentingan sendok di tangan laki-laki itu menarik atensi tiga orang yang tengah menyantap hidangan di meja makan. Aira melirik jengah kakak tertuanya.
"Alden harus berangkat sekarang." Jas hitam yang tersampir di kursi pun diambilnya sebelum melangkah meninggalkan ruangan.
Andreas mengembuskan napas. Beliau melihat putri bungsunya yang juga bersiap setelah menyudahi sarapan.
Dengan senyum merekah Aira menghampiri Andreas untuk mencium tangannya. Dia berpamitan. "Aira berangkat dulu, Pa."
"Iya, yang rajin belajarnya."
"Siap, Pak Boss!" jawab gadis itu mengacungkan jempol. "Eh, bentar. Ada yang lupa."
Alvin tersenyum remeh saat Aira mulai melewatinya. "Baru inget kan, punya abang satu lagi." Tangannya menjulur siap untuk disalami.
Tapi ternyata Aira hanya melewati tanpa menyambutnya. Gadis itu berlari ke dapur mengambil wadah thinwall untuk dia masukkan beberapa potong sandwich.
Alvin menatap tak percaya.
"Sandwichnya aku bawa semua, Pa. Buat Kak Zia," ucap gadis itu tergopoh menuju pintu utama.
Andreas terkekeh. Lalu menepuk bahu anak keduanya. "Kamu tau adikmu rada susah dibilangin, kan? Tugas kamu harus ekstra ngawasin dia."
* * *
Aira bersandar di pintu mobil. Menggerak-gerakkan kaki mencoba menghilangkan gugup seraya mengitari pandang sekitar mencari keberadaan Zia‐ Anak dari Pak Fahri yang sudah bekerja puluhan tahun sebagai supir pribadi untuk keluarga Andreas.
"Non Aira gausah takut di sekolah baru. Kata anak bapak, temennya baik-baik. Bapak juga jagain di sini sampai pulang nanti," ucap Pak Fahri.
Aira mengangguk dan tersenyum menanggapi. Fokusnya teralih begitu mendengar suara familiar.
"Bapaaak!"