Heart Reset

nisafaza
Chapter #4

#4. Mandat dan Peristiwa

"Besok Ayah harus ke Jepang. Ada urusan kerjaan di sana."

Andreas melontar kabar di tengah suara dentingan sendok. Ditatapnya satu persatu anak yang kini sibuk pada hidangan pagi. Belum ada yang merespon, sampai ia menyadari air muka si putri bungsu tampak masam.

"Tenang aja, Aira. Papa nggak bakal lama di sana. Paling cepat seminggu," tambah Andreas seolah tahu kekhawatiran datang menghampiri. 

Mendengar namanya di sebut, gadis berponi itu menoleh ke sumber suara. "Aira nggak apa-apa kok, Pa. Mau Papa seminggu, sebulan, setahun di sana juga oke aja. Soalnya Aira tau kalo Papa bilang bakal pulang ya pasti pulang," ucapnya, lalu sedikit menekan kalimat di akhir. "Papa kan nggak pernah ingkar janji."

Atmosfer menjadi kurang mengenakkan begitu Aira melirik Alvin yang tengah santai menyantap makanannya. 

Detik itu sang kepala keluarga paham. Dari singgungan Aira di sini tengah terjadi konflik batin antar saudara. 

"Emang ada yang ingkar janji di sini? Papa kan selalu ngajarin anak-anak Papa buat nepatin janjinya," pancing Andreas.

Umpan yang diberikan sepertinya berhasil. Aira menunjuk Alvin dengan pisau yang baru saja ia gunakan untuk mengiris lembaran roti. "Ada. Anak Papa yang itu, tukang kibul."

Merasa tuduhan mengarah padanya, Alvin mendongak. Menatap bingung orang-orang sekelilingnya. "Apa?"

"Dia udah janji buat ngajak Aira ke pasar malem, tapi cuma omdo. Omong doang," tukas gadis itu.

Tak terima, giliran Alvin menunjuk Aira dengan sendoknya. "Heh, nggak omdo, ya! Emang bener mau ke pasar malem, tapi situ malah tidur pas di rumah sakit."

"Kan bisa dibangunin!" seru Aira tak mau kalah.

"Semalem periksa kata Kak Alden kecapekan ga boleh dibangunin." Alvin mulai mengungkap. "Tuh, Pa. Kemarin siang dia gak mau check up. Marahin, Pa. Kak Alden juga biasanya ngamuk kalo ngadepin orang yang susah diatur, tuh anaknya udah di depan situ, marahin."

Tatapan siap perang semakin menyala begitu Alvin berhasil membalikkan keadaan. Aira merasa terpojok sekarang.

Andreas menghela napas. "Selama Papa nggak ada di rumah, mulai besok Alvin yang antar jemput Aira ke sekolah," ucapnya memberi mandat.

Kedua anak tersebut memandang ayahnya terkejut. Lantas serempak menjawab. "Nggak mau!"

Lain halnya Alden yang sejak tadi hanya menjadi pendengar, dia membenarkan keputusan itu. "Setuju."

Sudah jelas untuk Aira tidak akan bebas jika bersama Alvin. Termasuk jadwal periksa rutin yang pasti akan bisa dipantau langsung dan mencegah agar tidak melewatkannya lagi. Sedangkan Alvin, apa yang dia permasalahkan? Yang Alden tahu, adik laki-lakinya itu sering menghabiskan waktu bersama teman-temannya di luar jam kuliah. Akan lebih baik memanfaatkan waktu yang tidak berguna itu untuk mengurus Aira, bukan?

Senyuman tipis Alden tertangkap oleh Alvin. Dia protes, "Nggak bisa, Pa. Jamnya bentrok sama kuliah aku."

"Nggak usah alasan, Papa juga tau jadwal kamu. Besok pas Aira selesai sekolah, kamu jemput dia dulu, anter pulang. Abis itu kalo ada jadwal, kamu balik ke kampus lagi," ujar Andreas, " Lagipula Pak Fahri juga bakal ikut Papa ke Jepang. Jadi, Papa serahin tugas itu ke kamu."

Mendengar kalimat terakhir, Aira menyudahi sarapannya dan bergegas untuk pamit ke sekolah. "Aira berangkat dulu." Gadis itu melenggang tanpa mencium tangan ayahnya seperti biasa.

Andreas memandang pasrah kepergian putrinya.

"Nggak ada yang bisa Papa jagain selain kamu buat awasin Aira, Alvin. Mulai sekarang, Papa mau kamu harus bisa lebih tegas. Jaga Aira, jangan biarin dia sedih, apalagi sampai drop. Kamu nggak mau kan terjadi sesuatu sama adikmu?"

Kalau sudah seperti ini, Alvin tidak mampu mengelak. Mungkin sudah jalannya untuk mengutamakan waktu demi keluarga, meski akan ada sedikit drama dalam menghadapi si adik satu-satunya.

Sementara di posisi Aira kini, keputusan sang ayah sangat memengaruhi suasana hatinya. Usaha menghindari dokter judes yang selalu menentang keinginannya akan sulit jika Alvin terjun langsung untuk memantau, mengawasi, atau bahkan tidak memperbolehkannya melakukan apa pun yang dia inginkan.

Aira sungguh mencemaskan hal itu.

Pandangannya kosong saat memasuki kelas. Hingga kesadarannya tertarik mengetahui beberapa buku yang akan dia masukkan ke dalam laci terhalang sesuatu lagi, seperti kemarin.

Cepat-cepat Aira menarik kembali bukunya dan merogoh ke dalam laci. Amarahnya hampir saja meluap begitu yang ia dapati bukan mainan. Melainkan banyak sekali kertas dengan rentetan tulisan seperti surat. Tak hanya itu, dia juga menemukan beberapa batang coklat, lolipop, bunga, keychain dan printilan lain. Bukankah ini terlihat seperti ... hadiah?

Lihat selengkapnya