Biru langit membersamai teriknya sinar di atas sana. Jam masih terhitung pagi, namun hawa panas yang menyengat kulit memaksa peluh untuk keluar membanjiri tubuh manusia layaknya di tengah hari.
Aira terpejam merasakan embusan dari pancaran kipas angin kecil di genggaman, seraya berteduh di bawah pohon rindang. Ditemani suara riuh teman sekelasnya yang tengah melaksanakan kegiatan olahraga, gadis itu menarik napas dalam. Berusaha melepas jerat keinginannya untuk ikut terjun ke lapangan. Dia ingin sekali bergabung. Berlarian, melompat, bergerak bebas tanpa ada penghalang seperti teman-temannya.
Kedua netranya membuka tatkala mendengar seruan salah satu siswa di sana.
"Aira juga harus ikut masuk barisan dong, Pak. Enak banget malah neduh nontonin doang!" Lista, si gadis berkucir kuda mengusap keringat sembari protes saat tahu teman sekelasnya tidak ikut andil dalam pelajaran.
Mereka baru saja melakukan pemanasan dengan lari keliling lapangan sebanyak tiga putaran. Wajah-wajah lelah tak luput dari penglihatan Aira. Hal itu tentu membuatnya merasa bersalah dan juga iba.
"Iya, Pak. Kita-kita capek di sini, dia duduk doang masa dapet nilai?" sambung siswi bernama Intan.
Pak Burhan sebagai guru pendamping pun menyela. "Siapa bilang?" Lantas menoleh sekilas ke arah Aira. "Dia Bapak suruh nulis ringkasan materi tentang pelajaran hari ini. Karena ada alasan dan kondisi tertentu, Aira tidak bisa gabung sama kalian. Tapi bukan berarti Bapak bebasin gitu aja. Semuanya sama-sama berusaha buat dapat nilai. Bapak harap kalian mengerti."
Penuturan Pak Burhan menyudahi kegaduhan di lapangan, meski tak sedikit dari siswa yang menggerutu kesal.
Jika bukan karena keluarga Aira yang menjelaskan langsung kondisinya ke pihak sekolah, sudah pasti diharuskan untuk turun ke lapangan. Kalau pun bisa, dia juga tidak mau hanya berdiam diri dan menyaksikan saja.
Dilihatnya kini para siswa bersiap mengambil posisi untuk bermain bola voli. Namun bersamaan dengan itu, dari sudut mata Aira menangkap kehadiran Sean dan beberapa siswa laki-laki termasuk Edo dan Ilham yang kompak dengan balutan jersey tengah berjalan di koridor.
Tanpa sadar Aira berdiri, hingga berbalik mengikuti arah Sean yang semakin dekat. Senyumnya tidak bisa lagi disembunyikan. Dalam hati berniat memberanikan diri untuk menyapa, namun urung di detik kemunculan Zia nampak berusaha menyamai langkah mereka sambil berseru, "Sean, botol minum lo ketinggalan!"
Disusul suara heboh memojokkan dari orang sekitar ketika Sean berterima kasih seraya bergerak mengusak bagian atas kepala Zia. Mereka tertawa. Dan entah mengapa itu membuat Aira mendadak kehilangan antusiasnya. Bahunya melemas. Dia baru saja akan mengahadap ke lapangan lagi, memposisikan diri seperti semula sampai tiba-tiba sebuah bola mendarat tepat di dahinya.
Dugh!
"Ahk!" Aira mengaduh hingga jatuh terduduk. Belum selesai dengan rasa pening di kepala, dia dikejutkan oleh Keenan yang berdiri seraya merebut handfan dari genggamannya.
"Jangan berharap bisa sok deket sama Abang gue, ya. Dia ada pawangnya." Laki-laki itu duduk bersandar di bawah pohon. Menggerakkan handfan ke sekitaran wajah dan leher, berharap keringat yang membasahi dapat menguar tersapu angin.
Hal semena-mena yang menempel di diri Keenan ini membuat Aira menggeram dalam hati. "Bisa nggak sih, nggak usah nyebelin jadi orang? Siniin kipasnya!"
Keenan berusaha menghindar dari jangkauan tangan Aira. "Pinjem bentar, elah. Pelit amat. Orang pelit temennya setan, ntar lu disamperin arwah gentayangan buat diajak temenan."
Aira hendak teriak mengadu pada Pak Burhan agar menyeret anak ini kembali ke lapangan. Tapi dia tidak mendapati keberadaan guru itu di sana.
"Btw dari mana lu bisa kenal Bang Sean sampe nyeritain soal gue di kelas?" tanya Keenan mengambil topik. "Nggak usah mimpi kalo itu cuma modus lu deketin Abang gue."
"Siapa juga yang modus!" Aira langsung mengelak, "Kak Zia tuh temenku dari kecil, dia yang mengenalin temen-temennya kemarin. Pas tau Kak Sean itu siapa, yaudah sekalian aja nyeritain kelakuanmu di kelas."
Keenan melirik Aira malas. "Dih, kang ngadu." Dipandangnya hamparan luas tempat bermain bola teman sekelas di depan sana, ia pun melanjutkan, "Nggak sedikit cewe sok-sokan ngobrol deket ujung-ujungnya ngebet pengen jadi pacarnya Bang Sean. Gue ingetin aja sih, nggak semua bisa jadi Zia."
Mendadak Aira tertarik dengan pembahasan Keenan. Dia menoleh sekilas pada Sean dan kawan-kawannya yang sudah mengarah ke lapangan indoor. Kemudian bertanya, "Emang kenapa sama Kak Zia?"
Sebelum menjawab, Keenan memejamkan mata. Menikmati sapuan angin di wajahnya. Dan itu membuat Aira memperhatikan karena tidak sabar.
"Mereka temenan dari jaman SMP." Keenan mengungkap. "Dari dulu Zia terkenal sama prestasinya di sekolah. Selalu dapet perhatian guru, diincer banyak cowo, bahkan bisa dapet beasiswa sekolah. Di situ banyak yang iri dengki ditambah fakta kalo dia cuma anak tukang sayur sama supir."
Aira menatap Keenan yang kini menoleh ke arahnya. Terdiam menunggu kelanjutan cerita dengan penasaran.
"Sejak itu Zia dibully. Bang Sean, Edo sama Ilham akhirnya mutusin buat lindungin dia. Lu liat sendiri, kan? Mereka kemana-mana nempel berempat, udah nggak ada yang berani gangguin. Apalagi sekarang lagi ganas-ganasnya tuh cegilnya Bang Sean. Makin iri mereka sama Zia," jelas Keenan.
Tidak bisa berkata-kata, Aira kelewat terkejut mengetahui bahwa Zia menjadi korban bully, namun sedikit lega ada Sean yang membantunya. Gadis itu mengangguk pelan tanda mengerti penjabaran dari Keenan. Kemudian mananyakan hal yang membuat rasa ingin tahunya tiba-tiba mencuat, "Apa yang buat Kak Sean sepeduli itu sama Kak Zia?"
Satu alis Keenan terangkat. "Ya lu pikir aja, Zia sebaik itu, hampir nggak pernah bikin masalah sama siapa pun. Dikira Abang gue nggak punya hati ngeliat orang-orang sombong pada nindas orang yang lemah?"
Benar sekali. Memang berharap apa Aira selain jawaban itu?
"Tapi ya ... Zianya juga bikin Abang betah sih deket sama dia."
Ucapan Keenan di akhir membuat Aira mengernyit. Maksudnya?
Laki-laki itu tak kunjung bersuara lagi. Mengambil posisi berdiri, lalu melangkah santai kembali ke lapangan saat melihat Pak Burhan tengah berjalan dari arah kantor. Detik itu Aira teringat benda miliknya masih dibawa Keenan.
"Keenan, kipasnya balikin!"