Heart Reset

nisafaza
Chapter #6

#6. Panggilan Telepon

Atmosfer canggung berada di satu tempat bersama laki-laki yang berhasil memikat hati membuat Aira tak tahu lagi harus bereaksi. Menapaki ruang Unit Kesehatan Sekolah, dia bergerak kikuk menuju brankar. Melirik Sean yang kini juga tengah mengamati gerak-geriknya. Entah karena tubuhnya bermasalah atau udara dingin di sekitar benar-benar menusuk kulit, alih-alih merebahkan diri, gadis itu duduk dengan jari-jari gemetar menangkup satu sama lain. 

Hal itu tidak lepas dari penglihatan Sean. Inisiatifnya segera mengambil alih remote AC di atas nakas, lalu menekan tombol guna mematikan suhu dingin ruangan. 

Aira menggigit bibir bawahnya, tersipu. Bukan lagi paras membuat dia terpukau kali ini, melainkan sikap penuh perhatian yang berhasil menyeretnya jatuh pada gelombang rasa yang menggelitik. Semakin luluh saja ketika laki-laki itu sibuk menyiapkan beberapa strip obat dan membawakan segelas air dari dispenser untuknya. 

"Lo biasa minum obat, nggak? Sekiranya masih mual, bisa minum obat yang ini." Sean sedikit mengulurkan salah satu kemasan yang dipegangnya. "Kalo ngerasa pusing, bisa minum obat sakit kepala, peredara nyeri juga ada, obat magh juga, yang ini." Tambahnya menunjukkan obat satu persatu.

Sedetail itu Sean memperhatikan kondisinya, sampai menanyakan hal penting sebelum merekomendasikan semua yang menurut dia memungkinkan dalam penyembuhan. Dan Aira jadi ingat kalau dia tidak berani untuk mengkonsumsi selain obat yang dianjurkan Alden, kakaknya sendiri.

Gadis itu menggeleng pelan. "Makasih, Kak. Tapi maaf, aku nggak bisa minum itu. Lagipula sekarang udah nggak apa-apa kok. Dibuat tidur sebentar juga pasti enakan," tolaknya halus, meyakinkan.

Sean mengangguk mengerti. "Oke, kalau gitu lo tiduran aja. Gue tungguin di sini." 

Perkataannya membuat Aira mengerjap.

"K-kak Sean balik aja, kan baru ada latihan basket," ucap gadis itu sedikit terbata.

"Latihannya udah kelar," balas Sean. Lalu menyadari sesuatu. "Lo tau dari mana gue latihan basket?"

Tak perlu dijawab pun sepertinya semua orang sudah tau. Telunjuk jari Aira spontan mengarah pada kaos tim yang dikenakan kakak kelasnya. "Itu jersey basket, kan?"

Oke, Laki-laki itu mengangguk paham. 

Walau Aira sendiri tidak bercerita sebenarnya ia tahu dari Zia.

"Yaudah, lo tidur aja."

"Kak Sean balik ke kelas aja kalo udah selesai," ujar Aira lagi, "Aku malah nggak bisa tidur kalo ada yang nungguin."

Gadis itu tidak sepenuhnya berbohong. Selain keberadaan Sean yang terus memacu jantungnya berdegup dua kali lebih cepat, dia juga tidak ingin Sean lebih lama meninggalkan Zia sendirian dan memberi kesempatan Vanya untuk berulah. Mengingat kejadian di kantin membuatnya takut akan terulang lagi.

Sementara Aira mengambil posisi tidur, Sean pun berucap setelah bergelut dengan keraguannya untuk meninggalkan si adik kelas sendiri. "Yaudah kalo gitu, gue pergi. Tapi ... jangan merem dulu, Keenan bakal ke sini bawain teh anget. Biar lo nya enakan."

Setelah mendapat respon anggukan, laki-laki itu lantas berjalan keluar. Bertepatan dengan Keenan yang muncul dari ujung koridor membawa secangkir teh, dia memutuskan untuk berhenti. Menyadari raut wajah adiknya yang menegang seperti menyembunyikan emosi.

"Biasa aja mukanya. Cuma disuruh gini doang, ngambek. Bukannya enak ke kantin sekalian jajan?" Sean mencibir. "Udah sono, kasih ke Aira, keburu tidur." 

Ya, Sean berpikir bahwa Keenan menjalankan perintahnya hanya karena terpaksa dan berat hati. Sampai dia dibuat terkejut karena tiba-tiba Keenan memberinya kemasan roti yang sudah terbuka dengan isinya nampak bekas gigitan dan kempes tidak berbentuk lagi.

"Itu yang buat Aira muntah-muntah," ucap Keenan menjelaskan. 

Gerak cepat Sean spontan memeriksa dengan teliti. Benar dia menemukan kondisi roti yang sudah mulai menjamur dan tanggal expired sudah terlewat. 

"Dia beli roti ini di kantin?" tanya Sean memastikan. Sedikit tidak percaya jika Keenan membenarkan, karena kantin sekolah ini terpantau ketat untuk makanan yang dikonsumsi, sudah dipastikan aman bahkan terjamin kebersihan dan higienisnya. Kecil kemungkinan ada kesalahan.

Keenan menggeleng memberi jawaban. "Bukan beli. Tapi dikasih, sama Vanya."

Kedua alis Sean terpaut bingung. Namun sejurus kemudian, memandang si adik terbelalak tak percaya. "Dia sengaja ngasih ini? Ke Aira?" 

Keenan mengangguk. "Lu urus sana deh, Bang. Sebelum dia berulah lagi. Gedeg banget gue, sampe bisa nyelakain orang kaya gini," gerutunya emosi. "Jangan lama-lama juga ninggalin temen cewe lu. Dia sasaran empuk banget buat Vanya gangguin pas lagi sendirian."

Mendengar itu tanpa sadar Sean meremat bungkus roti di tangannya. Tanpa bicara dia melesat meninggalkan tempat dengan langkah menggebu.

Keenan melihat pun menghela napas. Berharap kakaknya bisa berbuat sesuatu bak pahlawan kali ini. Sementara itu, dia melanjutkan langkah memasuki ruangan yang hanya ada satu siswi berbaring di sana. Ditaruhnya secangkir teh di atas nakas, lalu mendekati si gadis yang ternyata sudah terlelap.

Lihat selengkapnya