Teman-temanku gaduh karena mabuk. So-Ju menempelkan dahinya ke meja sembari terengah-engah karena terlalu banyak minum soju. Aku jadi mencemaskan kondisinya. Aku khawatir dahinya yang menonjol menjadi berkerut. Aku pun memutuskan untuk mengantar So-Ju yang mabuk berat pulang.
Aku berkata kepadanya, “Permisi. Biar kuantar kau pulang.”
“Kau tertarik kepadaku?” So-Ju mendadak bertanya.
Aku kaget dia menanyakan hal semacam itu tanpa ragu. Aku tertegun. Bahkan, sikapnya itu terasa menggemaskan bagiku.
Sejenak, aku termangu, kemudian menjawab ragu, “Karena kurasa bahaya kalau kau pulang sendirian dalam kondisi seperti ini.”
“Dan, ikut denganmu tidak berbahaya?”
“Lebih baik kuantar daripada kau pulang sendiri. Lagi pula, kita punya teman yang sama, ‘kan?”
“Kita?” So-Ju meragu dengan wajah mabuk, kemudian lanjut bicara, “Kau memercayaiku?”
Aku bingung dengan pertanyaannya, lantas menjawab, “Apa?”
So-Ju pun berkata, “Kau bilang ‘kita’ punya teman yang sama.”
“Eh …, ng, entahlah. Dibandingkan ‘percaya’, mungkin lebih tepat disebut rasa nyaman karena setidaknya kita sedikit saling mengenal daripada merasa asing sepenuhnya. Bukan begitu?” Aku tersenyum puas karena merasa memberi jawaban yang tepat.
Dia mengangguk dua kali tanda mengerti, kemudian berdiri. Tidak satu pun dari teman kami yang menyadari kepergian kami. Mereka sibuk saling menyombongkan diri dan berteriak bagaikan segerombolan ikan dalam lautan minuman keras yang bergelombang.
Aku berjalan lebih dulu daripada So-Ju dan berlari keluar untuk menghidupkan mesin mobil yang terparkir dan membeku karena musim dingin. Tampaknya, suhu di luar begitu rendah sampai kaca mobil dan spion membeku. Aku menyalakan pemanas hingga level maksimal. Alat itu mengeluarkan suara berdengung, bekerja keras mencairkan mobil.
So-Ju berjalan terhuyung dari kejauhan. Aku ingin membantunya, tetapi kemudian mengurungkan niat karena rasanya seperti memperlihatkan maksud terselubung.
So-Ju membuka pintu mobil, kemudian naik dalam keadaan nyaris roboh. Itu pun di kursi belakang. Aku mencoba mengerti—mungkin So-Ju terlalu mabuk hingga memilih duduk di belakang, bukan di depan.
Kami tidak berbicara sama sekali. Aku mulai menyetir ke arah yang masih belum kuketahui. Udara mulai terasa hangat sedikit demi sedikit.
Seketika, suhu di dalam mobil meningkat dan tubuh terasa meleleh. Mataku pun terasa berat. Kupikir So-Ju tidur karena dia tidak bersuara, tetapi ternyata dia membuka mata lebar-lebar sembari melamun, menengok ke luar jendela.
Apa yang sedang dia pikirkan?
Kemudian, aku bertanya, “Di mana rumahmu?”
“Di mana saja,” So-Ju menjawab dengan banmal3.
Di mana saja? Aku yang sedang menyetir, merasa agak kesal. Aku menggerutu dengan suara kecil agar tidak terdengar sampai kursi belakang—tempat So-Ju duduk. “Aku harus tahu di mana rumahnya agar bisa mengantarnya pulang ….”
“Meski kuberi tahu ke mana harus pergi, kau pasti akan membawaku ke tempat yang kau inginkan, ‘kan?” jawab So-Ju, seolah dapat mendengar suara kecilku.
Suaranya terdengar normal, bahkan aku sampai lupa suara mabuknya tadi. Apa dia sudah sadar?
Aku pun segera menyanggah, “Apa maksudmu ‘ke tempat yang kau inginkan’? Kau takut aku membawamu ke tempat yang tidak-tidak? Bicaramu aneh sekali.”
So-Ju tidak menimpali. Aku lantas menyesal karena sepertinya responsku terlalu berlebihan. Apa aku tidak seharusnya bicara begitu? Tempat yang tidak-tidak? Astaga, sepertinya aku menggali kuburanku sendiri. Rasanya bagaikan terperangkap dalam siasatku sendiri.
So-Ju memandang ke luar jendela dengan santai. Malam berkilau, seolah bintang berada begitu dekat.
Merasa canggung akan keheningan itu, aku pun angkat bicara. “Langit sangat gelap, ya?”
“Langit malam memang seharusnya gelap,” So-Ju kembali menjawab dengan banmal. “Hentikan mobilnya.”
Dia bicara menggunakan banmal, ditambah dengan nadanya yang otoriter. Sedikit demi sedikit aku mulai merasa tersinggung.
“Kenapa kau tiba-tiba menggunakan banmal?”
Dia berseru marah, “Kau menyetir dalam keadaan mabuk! Hentikan mobilnya!”
Tepat saat itu, mobilku memasuki jalan asing.