Heart Shaped Tears

Noura Publishing
Chapter #3

Bab 3 Waktu kami

Waktu kami tiba di pintu masuk apartemenku, rintik hujan musim dingin mulai turun. Meski untung saja baru turun seka­rang, saat kami sudah sampai. So-Ju melihat ke arah langit seje­nak, kemudian mulai menaiki tangga.

Tadinya, aku hendak menggunakan lift karena tulang pang­gul dan kakiku sakit, tetapi So-Ju naik menggunakan tangga, sehingga aku pun terpaksa mengikutinya. Apa lantai tiga memang setinggi ini, ya?

Begitu aku membuka pintu, suhu hangat menyeruak ke seluruh tubuh, dan tubuhku yang terasa sakit pun seakan ter­obati seketika. So-Ju masuk ke ruang tamu tanpa kata, ke­mu­dian duduk sembari menyandarkan punggungnya pada salah satu permukaan dinding.

Aku bertanya, “So-Ju-ya5, kau mau minum?” Tanpa sadar, aku me­rasa So-Ju seperti seorang teman dan bicara menggu­nakan banmal. Kupikir So-Ju akan marah, tetapi dia hanya me­nolak tawaranku seperti tak tertarik dan tak bertenaga.

Aku teringat akan luka So-Ju.

“Kita harus mensterilkan luka di tanganmu dulu. Darah­nya banyak.”

Aku pergi ke dapur dan membuka bufet, lalu menge­luarkan disinfektan dan perban. Aku khawatir akan wanita ini—yang bersikap seperti anak kecil dan berpura-pura baik-baik saja.

Begitulah. So-Ju yang masuk ke rumahku seperti anak kecil—atau kucing yang tersesat dan sedang mencari tempat untuk melarikan diri, juga seperti anak anjing yang dibuang dan mencari tempat perlindungan. Bagaimanapun, menurutku So-Ju bukan wanita sempurna.

Aku mengoleskan disinfektan ke tangan So-Ju. Saat itu­lah aku baru sadar bahwa dia mengenakan sweter berwarna ungu.

Apa yang kulihat dari dirinya sejak tadi? Pikiranku terlalu semrawut sampai tidak tahu pakaian apa yang dia kenakan.

Entah disinfektan yang mengalir di tangannya itu tidak terasa perih, So-Ju tak mengerutkan dahi sedikit pun. Dia hanya duduk termangu dan berbisik, “Hari ini aku akan menginap di sini.”

Aku merasa senang karena kelihatannya dia mulai merasa nyaman terhadapku. Meskipun kata menginap agak membuatku tidak nyaman dan khawatir.

Aku ingin memastikan perasaan So-Ju. “Kau sampai ber­sedia datang kemari, berarti kau membuka hatimu untukku, ‘kan?”

Dia balik bertanya, “Bagaimana denganmu? Apa kau mem­buka pintu rumahmu karena kau membuka hatimu untukku?”

Pertanyaan sulit. Aku merasa pertanyaanku masuk akal, tetapi entah mengapa aku merasa pertanyaan So-Ju sulit dijawab karena memiliki lebih banyak arti. Akhirnya, aku mengganti to­pik pembicaraan.

“Kurasa ayahmu sangat menyukai soju sampai menamai­mu So-Ju.”

“Kalau begitu, apa ayahmu suka akal sehat6?”

Aku terbahak. Dia pandai bermain kata.

“Aku anak ketiga dari tiga bersaudara. Kakak pertamaku bernama Saeng-Sik7, kakak kedua Ga-Sik8, dan aku anak ketiga, Sang-Sik. Lucu, ‘kan?”

“Sang-Sik lebih baik daripada Saeng-Sik dan Ga-Sik.”

“Namamu juga lebih baik daripada Maek-Ju9 atau An-Ju10.”

So-Ju tergelak mendengar jawabanku. Sepertinya kami me­miliki selera humor yang sama. Percakapan kami terasa seperti percakapan­ku dengan Cheol-Su—hanya mungkin dilakukan oleh sahabat yang setidaknya sudah berteman selama dua puluh tahun.

Aku kembali menanyakan topik tadi, “Kau benar-benar membuka hatimu untukku?”

“Hati? … Iya,” jawabnya dengan santai sambil terus me­mandang ke bawah.

“Sebenarnya, aku membuka pintu rumah lebih karena tanggung jawab daripada karena membuka hati.”

“Tanggung jawab?”

“Ya.”

“Kalau begitu, kau sudah siap untuk bertanggung jawab atas diriku?”

Lihat selengkapnya