Waktu kami tiba di pintu masuk apartemenku, rintik hujan musim dingin mulai turun. Meski untung saja baru turun sekarang, saat kami sudah sampai. So-Ju melihat ke arah langit sejenak, kemudian mulai menaiki tangga.
Tadinya, aku hendak menggunakan lift karena tulang panggul dan kakiku sakit, tetapi So-Ju naik menggunakan tangga, sehingga aku pun terpaksa mengikutinya. Apa lantai tiga memang setinggi ini, ya?
Begitu aku membuka pintu, suhu hangat menyeruak ke seluruh tubuh, dan tubuhku yang terasa sakit pun seakan terobati seketika. So-Ju masuk ke ruang tamu tanpa kata, kemudian duduk sembari menyandarkan punggungnya pada salah satu permukaan dinding.
Aku bertanya, “So-Ju-ya5, kau mau minum?” Tanpa sadar, aku merasa So-Ju seperti seorang teman dan bicara menggunakan banmal. Kupikir So-Ju akan marah, tetapi dia hanya menolak tawaranku seperti tak tertarik dan tak bertenaga.
Aku teringat akan luka So-Ju.
“Kita harus mensterilkan luka di tanganmu dulu. Darahnya banyak.”
Aku pergi ke dapur dan membuka bufet, lalu mengeluarkan disinfektan dan perban. Aku khawatir akan wanita ini—yang bersikap seperti anak kecil dan berpura-pura baik-baik saja.
Begitulah. So-Ju yang masuk ke rumahku seperti anak kecil—atau kucing yang tersesat dan sedang mencari tempat untuk melarikan diri, juga seperti anak anjing yang dibuang dan mencari tempat perlindungan. Bagaimanapun, menurutku So-Ju bukan wanita sempurna.
Aku mengoleskan disinfektan ke tangan So-Ju. Saat itulah aku baru sadar bahwa dia mengenakan sweter berwarna ungu.
Apa yang kulihat dari dirinya sejak tadi? Pikiranku terlalu semrawut sampai tidak tahu pakaian apa yang dia kenakan.
Entah disinfektan yang mengalir di tangannya itu tidak terasa perih, So-Ju tak mengerutkan dahi sedikit pun. Dia hanya duduk termangu dan berbisik, “Hari ini aku akan menginap di sini.”
Aku merasa senang karena kelihatannya dia mulai merasa nyaman terhadapku. Meskipun kata menginap agak membuatku tidak nyaman dan khawatir.
Aku ingin memastikan perasaan So-Ju. “Kau sampai bersedia datang kemari, berarti kau membuka hatimu untukku, ‘kan?”
Dia balik bertanya, “Bagaimana denganmu? Apa kau membuka pintu rumahmu karena kau membuka hatimu untukku?”
Pertanyaan sulit. Aku merasa pertanyaanku masuk akal, tetapi entah mengapa aku merasa pertanyaan So-Ju sulit dijawab karena memiliki lebih banyak arti. Akhirnya, aku mengganti topik pembicaraan.
“Kurasa ayahmu sangat menyukai soju sampai menamaimu So-Ju.”
“Kalau begitu, apa ayahmu suka akal sehat6?”
Aku terbahak. Dia pandai bermain kata.
“Aku anak ketiga dari tiga bersaudara. Kakak pertamaku bernama Saeng-Sik7, kakak kedua Ga-Sik8, dan aku anak ketiga, Sang-Sik. Lucu, ‘kan?”
“Sang-Sik lebih baik daripada Saeng-Sik dan Ga-Sik.”
“Namamu juga lebih baik daripada Maek-Ju9 atau An-Ju10.”
So-Ju tergelak mendengar jawabanku. Sepertinya kami memiliki selera humor yang sama. Percakapan kami terasa seperti percakapanku dengan Cheol-Su—hanya mungkin dilakukan oleh sahabat yang setidaknya sudah berteman selama dua puluh tahun.
Aku kembali menanyakan topik tadi, “Kau benar-benar membuka hatimu untukku?”
“Hati? … Iya,” jawabnya dengan santai sambil terus memandang ke bawah.
“Sebenarnya, aku membuka pintu rumah lebih karena tanggung jawab daripada karena membuka hati.”
“Tanggung jawab?”
“Ya.”
“Kalau begitu, kau sudah siap untuk bertanggung jawab atas diriku?”