Heartbeat

Arineko
Chapter #6

Sisi Lemah

GADIS yang masih bergelung di bawah selimut itu mulai membuka kelopak matanya secara perlahan. Sejenak kemudian ia melakukan gerakan menggeliat ke sisi kanan untuk sekadar merenggangkan otot-ototnya sembari melenguh kecil.

Bersamaan kelopak mata itu terbuka lebih lebar dan merasa penglihatannya sudah tidak terlalu buram, ia mendapati jarum-jarum jam beker di atas meja kecil samping ranjang tempatnya masih berbaring menunjukkan pukul 8:20. Ia pun menyadari cuaca di luar sana rupanya sudah mulai panas.

Oh, sepertinya Fania bangun lebih siang daripada biasanya. Walaupun hari ini hari Minggu, biasanya Fania tidak tidur lagi setelah menunaikan ibadah salat Subuh. Mungkin karena setelah tiga bulan terakhir ini, baru tadi malam ia benar-benar merasakan tidur nyenyak.

Ia teringat baru tiba di rumah pukul sepuluh malam lebih. Rasa lelah dan penat membuat Fania langsung ambruk ke tempat tidur tanpa sempat mengganti bajunya dengan piyama. Tanpa sempat memikirkan bahwa sebelumnya ia malas pulang ke rumah.

Semalaman itu ia memang menghabiskan banyak waktu dengan mengobrol di kedai nasi gandul Jihan. Dan Jihan banyak memberikan kata-kata bijak yang membuat relung hati Fania seakan dialiri kedamaian.

Fania duduk di tepian tempat tidur, sementara kedua telapak kakinya telah menyentuh lantai. Ujung-ujung jari kakinya menggapai sandal beledu di bawah tempat tidur. Fania menutupi mulutnya yang tengah menguap lebar. Dikenakannya kerudung bergo yang tersampir di atas tempat tidur sebelum ia memutuskan keluar kamar.

Walaupun di dalam rumah, hampir setiap keluar kamar, Fania tidak luput mengenakan kerudungnya. Ia telah menyadari betul hakikat kewajiban seorang muslimah untuk menutup aurat dari almarhumah neneknya yang selalu membiasakan sejak kecil.

Pesan yang selalu diingatkan neneknya untuk Fania sebelum mengembuskan napas terakhir adalah jangan sampai Fania melepas hijabnya. Aurat wanita adalah perhiasan. Dan perhiasan itu bukan untuk ditampakkan kepada seseorang yang bukan mahramnya. Apalagi sekarang yang jelas-jelas ia ingat sedang ada laki-laki ajnabi ikut tinggal di paviliun rumahnya.

Dengan langkah gontai dan penampilan masih serbakusut, Fania berjalan menuju dapur. Dikerjap-kerjapkan kedua matanya yang terasa lengket sekadar menggugah kesadarannya agar penuh seratus persen. Bi Ipah tidak terlihat di dapur. Ah, paling juga sedang belanja di pasar.

Duduk di depan meja makan, Fania menuangkan air mineral dari pitcher ke dalam mug, lalu diteguknya sekali tandas. Tenggorokannya yang kering terasa lebih baik setelah kesegaran air mineral itu mengalirinya. Sayup, di tengah kondisinya yang sudah benar-benar sadar, Fania menangkap lantunan selawat dari arah teras samping rumah.

Ya, itu suara orang berselawat.

Sejenak Fania tertegun, hingga langkah kaki mendorongnya mengikuti asal suara selawatan tersebut. Mata gadis itu menangkap ayunan rotan di pekarangan samping rumah itu bergerak-gerak. Ada orang yang memainkannya? Siapa?

Fania tak berkedip, tubuhnya mematung, terpaku pada sesosok bayangan yang duduk di ayunan rotan sambil melantunkan selawat. Merdu sekali.

Sholatullah salamullah.

Lihat selengkapnya