Heartless

yShine
Chapter #1

Hansel dan Gretel

Dia mematahkan jariku.

Dia mengiris wajahku.

Oh, aku amat terharu dia benar-benar melakukannya.

Tidak. Dia tidak benci padaku, hanya terlalu menyayangiku, itu saja. Aku juga amat menyayanginya sampai-sampai hatiku sakit.

Dia memberiku roti agar aku tetap hidup, aku menggantinya dengan Dandelion untuk mengingatkannya kalau aku baik-baik saja. Namun sesungguhnya dia tidak tahu bahwa aku nyaris mati dan hantu kematian semakin dekat setiap paginya.

Aku sudah banyak berhutang padanya, hari ini akan kubayar hutang itu.

Ini harus.

Jika tidak hari ini masih bisa besok, tapi besok terlalu lama, aku bisa mati.

Hari ini perasaanku agak sedikit tegang, namun rasanya aku bahagia sampai tidak mau berhenti berputar-putar sambil cekikikkan dengan gaunku yang kainnya sudah kusam dan tipis. Tapi sepatuku tidak berlubang, ini bagus sekali walau agak sempit dan membuat tumitku sakit.

Aku tidak boleh melepasnya, dia akan tersenyum karena aku memakai sepatu.

Sekarang dia pasti sedang menungguku di balairung Dahlia.

Kupastikan aku tidak melupakan sesuatu yang penting.

Saat matahari menukik di cakrawala, aku melangkah ke luar dari alun-alun utama yang disesaki para pestawan--hari ini hari pasar bertepatan dengan perayaan lampion--menyusuri jalan setapak yang merupakan jembatan-jembatan lengkung terowongan air, melewati deretan rumah-rumah bercerobong batu bata di luar gerbang utama kota.

Balairung Dahlia adalah reruntuhan kastil di sebelah timur, tempat yang tidak ingin lagi didatangi siapapun, tapi sebagian orang masih mendatangi kuil untuk beribadah. Pilar-pilar gerbang kastil sebagian sudah hancur dan banyak dirambati tanaman sulur dengan bebungaan yang cemerlang. Harusnya ini tempat yang cantik.

"Kau lama sekali." Hansel bertopang dagu di belakang jendela lengkung, matanya berbinar begitu melihatku dan hatiku sakit lagi.

"Maaf, aku menyesal," kataku, lalu menghambur untuk mengecup pipinya. Hansel melakukan hal yang sama, menempelkan bibirnya di bagian segaris luka yang dia buat. Luka itu memanjang dari atas alis kiri hingga nyaris ke bibir. Hansel sangat mengagumi luka itu karena membuatku kelihatan tidak cantik dan tidak disukai orang.

"Aku menghawatirkanmu." Hansel berbisik di wajahku sementara kening kami menempel. "Aku sangat menghawatirkanmu sampai-sampai rasanya mau mati."

"Tidak," kataku sembari menempelkan telunjukku yang sehat ke bibirnya. "Tidak akan lagi, ini yang terakhir, aku janji."

Tumitku hendak berputar ketika Hansel dengan mudah meraup pinggangku melewati puing kemudian dia mendudukkanku di batu sebelahnya. "Aku membawakanmu roti ekstra, kita berpesta?"

Aku mengangguk dengan senyuman lebar di bibirku. Roti ini benar-benar istimewa dan seharusnya sangat lezat dengan lelehan keju kambing yang meresap langsung di atas roti yang masih hangat, tapi aku tidak bisa menelannya.

Dalam keranjang yang dibawa Hansel, masih ada sepotong besar keju, empat telur mata sapi, kismis, beberapa butir apel dan dua kaleng jus jeruk. Kali ini dia membawanya lebih banyak ketimbang piknik musim lalu, aku tidak senang. Aku tidak suka ini.

"Bagaimana perasaanmu?"

Hansel menungguku menjawab tapi aku malah balik memandanginya. Dia kelihatan bahagia dengan roti di mulutnya, bukan, dia bahagia karena aku ada di sampingnya. Dia tidak benar-benar senang dengan semua makanan ini, dia bisa mendapatkan lebih daripada ini setiap harinya, tentu saja. Dia bisa menghabiskannya sendirian tapi dia malah membaginya denganku. Aku sakit hati dia melakukannya.

"Tidak ada apapun yang secerah perasaanku sekarang," kataku. "Saat fajar besok aku pasti punya nafsu makan yang bagus."

Di seberangku, Hansel tiba-tiba tertawa. "Benarkah? Ah, itu bakal agak menyulitkan untukku kalau begitu."

Lihat selengkapnya