Aku sudah berhenti beternak.
Pada musim gugur ini aku memanen apel di hutan.
Terlalu banyak apel.
Ingat soal selai blackberry, kakak? Mencampurnya dengan apel hasilnya lebih bagus tapi benar-benar merusak citarasanya. Maka kupikir lebih baik dibuat pie saja meskipun tidak akan jadi pie terlezat seantero negeri.
Nanti akan kuantar pie-pie itu seperti biasa ke benteng--penjara bawah tanah yang dingin. Di bawah sana penuh dengan lorong-lorong yang berkelok-kelok dan undakan batu yang lembap dan licin karena lumut.
Aku tahu makanan penjara tidaklah memuaskan tapi tidak pula semua kriminal kaisar mau repot-repot memakannya. Apa bedanya, kadang ada yang menanyakan hal seperti itu. Aku hanya akan memandang sekeliling sel mereka yang berbau segala macam dengan kasihan, lalu kukatakan saja, paling tidak aku membuatnya dengan sepenuh kasih, sepenuh hatiku.
Betul, aku berkata jujur soal ini.
Aku tidak melebih-lebihkan ketika lebih banyak dari mereka mendengus ketimbang memikirkan perkataanku lamat-lamat.
Sayang sekali.
Padahal aku cuma ingin membantu, aku amat peduli, itu saja.
Ah, ada pelanggan.
Oh, gadis itu lagi....
Pada suatu siang menjelang akhir musim panas, pertamakalinya dia datang diiringi denting bel di pintu masuk kios persis seperti hari ini. Beberapa hari setelah kios herbalku buka. Aku banyak belajar soal tanaman belakangan.
Benar, lebih menyenangkan berdiri di belakang meja counter sambil menunggu pelanggan. Lagi pula siapa yang mau lama-lama tidur dengan kambing?
Aku tidak senang dengan gadis itu, terlalu banyak omong. Aku harus mencekiknya kalau ada kesempatan, atau memberinya sekeranjang pie dengan risin? Ah, gagasanku memang cemerlang.
Gadis ini bukan seorang budak, kau tidak akan melihat chooker metal membelenggu lehernya, tapi gaun renda-rendanya tidaklah terlalu mewah dan rambutnya takkan pernah dimiliki seorang pelayan terhormat manapun.
Kalau tidak keliru dia salah satu putri saudagar kaya, master Valenciano yang tersohor.
Kau pasti mengenalnya, kakak. Dulu kau mengabdi di kediamannya. Aku baru ingat dia membicarakanmu, rahasia-rahasiamu. Ukh, aku tidak suka. Oh apalagi... siapa itu, gadis satunya, Linnet. Si gadis berambut sangat merah seperti apel kematangan.
Ketika pintu di belakangnya menutup aku mengucapkan selamat datang sebagaimana mestinya.
Alih-alih menjawab sigadis Valenciano memandangiku.
Pelanggan yang baru pertama kali ke sini kebanyakan seperti itu. Ini pasti karena mahakaryamu yang luar biasa ini, kakak. Jangan khawatir tak akan kusembuhkan, bukan karena aku suka luka di wajahku ini tapi orang mengenalku dengan luka ini.
Hmmm.
Aku mengucapkan selamat datang lagi. Gadis itu tersentak, lalu memastikan sekeliling sebelum bergegas untuk mencondongkan badan di atas meja. Dengan hati-hati dia berkata. "Kau... em... menjual segala macam obat?"
Aku mengangguk ceria. "Oh, ya. Apa yang...."
"Sstt... sebotol... em... obat mencret-mencret... ada? Ah, yang bekerja cepat kalau bisa?"
"Untuk diare...."
"Bukan! Oh... maksudku, ya, em, tidak... bukan seperti itu. Sesuatu yang membuatmu sebaliknya. Kau mesti tahu artinya.... Aduh, sial. Orang tua itu tidak akan berhenti menjodohkanku dengan si Count sinting mana lagi...."
"Oh...."
"Sstt," dia menyilangkan telunjuk di bibirnya. "Tak usah dikatakan. Berikan saja botol itu padaku, aku akan membayar."
Pada saat itu bel berdenting lagi. Gadis berambut sangat merah kemudian masuk terengah-engah.
"Sable," panggilnya, yang dipanggil melirik, memasang senyum, memperlihatkan barisan giginya yang bagus.
"Oh, halo, Linnet. Kemari, coba tebak apa yang kubeli... oh, ayolah, lihat dirimu, tak usah berwajah begitu. Aku mengerti, sangat mengerti. Aku akan pulang sebelum pak tua itu tahu."
"Aku tidak peduli kau mengolok-olok ayah. Aku kira kau tahu...."
"Tahu bahwa ayah akan menghukummu kalau aku ketahuan berbuat nakal? Jangan khawatir, aku akan berusaha untuk tidak ketahuan. Nah, sekarang pulanglah, jangan biarkan telapak tangan ayah mendarat di pipiku. Oh, atau kau memang mau begitu?"
"Cukup, Sable!"
"Tentu saja." Namun bukan itu yang diinginkan si rambut merah. Gadis itu memohon dengan sangat ketika gadis yang bernama Sable cuma memutar bola mata.
Pada akhirnya, Valenciano bersaudara menuju ke pintu, gadis Sable kemudian berdiri sebentar lalu berseru kepadaku diiringi kedipan.
"Aku pasti akan kembali."
Sable Valenciano datang lagi ke kios, pagi-pagi sekali, saat itu udara begitu menggigit, kabut menggantung rendah di atas kanal dan bangunan-bangunan jadi kelihatan abu-abu. Sementara gang-gang berbau roti panggang. Aku membereskan apa yang mesti kubereskan di bawah dipan. Tak seorangpun perlu melihat kiosku dalam keadaan berlumpur.
"Ampun, sungguh brengsek. Punya saudara itu sangat tidak menguntungkan, huh, apa aku benar?"
"Ya, itu bisa terjadi," jawabku. Di sudut bersama sejumlah benda lain sebuah sekop memandangku dingin.
"Kau punya saudara?"
Aku punya, tapi sudah mati.
"Em, tidak."
"Bagus," katanya. "Soalnya kau tampan, maksudku kalau kau anak lelaki atau punya saudara lelaki, pasti aku ingin menciumnya tapi itupun kalau kau seorang yang terhormat. Aku takkan melakukan hal tak bermoral seperti dia. Ingat dengan kakak perempuanku, Linnet? Ya, aku tahu dia ada hubungan dengan si budak, Hansel...."
Nah, bagaimana pendapatmu, kakak?
"....Pemuda itu memang tampan, sayang sekali. Oh, aku ingat! Mau dengar... Begini, pada waktu itu aku sedang menuruni tangga menuju ruang tong. Disana tidak ada apa-apa maksudku kecuali tentu saja botol-botol rum yang memendarkan cahaya dari lampu minyak, serta tong-tong kayu yang masih penuh dan beraroma kayu ek dan sirop gula yang tajam. Kukira hanya fantasiku ketika kudengar sesuatu seperti lenguhan... astaga... mereka sedang berciuman... benar-benar tolol sekali."
"Ciuman?"