Heartless

yShine
Chapter #3

Sang Serigala

"Gretel Baroness."

Kuas sang serigala terhenti di atas kanvas, nama tersebut terdengar tidak asing, setelah ikut melafalkan nama itu sekali di dalam batin, sang serigala kembali mengayunkan tangannya.

Dalam ruangan kini nyaris hening kecuali patahan kayu yang membara di dalam perapian, sekali terdengar benturan cangkir dengan tatakannya kemudian suara nyaring gadis itu kembali merobek ketenangan, alis sang serigala berkedut.

"Kau beneran tidak menanggapinya, ya." Si gadis berdecak dan kali ini perkataannya tidak terdengar seperti gumaman kepada dirinya sendiri, tapi mengajak bicara sang serigala, rupanya gadis itu sudah selesai membaca, lalu terdengarlah tawanya yang manis.

Menyilangkan kaki, gadis itu tenggelam di sofa beludru merah delima, seekor tupai berbulu lebat tampak tidak nyaman dipangkuannya. Tatapan gadis itu tertumbuk pada tumpukan surat di hadapannya. Kertas-kertas berharga yang berserakan begitu saja di atas meja rendah bersama secangkir teh chamomile.

"Kalau aku jadi penasaran." Si gadis melambai-lambaikan selembar surat yang tadi dibacanya, sementara si tupai mendapat kesempatan mebebaskan diri dari pelukan gadis itu. Karena sang serigala tidak menaggapi si gadis melanjutkan. "Sekarang ada yang berani membayar dengan mahal."

Si gadis sengaja menekankan dua kata terakhirnya seolah-olah dengan begitu sang serigala akan tertarik. Dan benar saja, tangan pemuda itu menjauh dari kanvas.

"Kau membicarakan apa?" Sang serigala berkata datar dari balik bahu kemudian kepada lukisannya. "Aku tidak bekerja pada musim gugur kalau kau bicara soal surat-surat pengajuan itu."

"Baiklah terserah, maksudku kau tidak akan membaca surat-surat sampai musim semi tiba, penjahat bayaran macam apa kau ini, pantas kita tidak kaya-kaya, tapi, kau tidak akan mengabaikan pengajuan untuk Gretel Baroness lagi kan?"

Tanpa mengurangi konsentrasi dari pekerjaannya, sang serigala berkata tanpa minat. "Apanya yang lagi?"

Kesal karena sang bos hanya menjawab sekenanya gadis itu meloncat bangkit dari duduknya, berjalan melintasi ruangan dengan tidak sabar lalu membeberkan surat itu dihadapan sang serigala.

"Saatnya bangun bos, duh coba lihat kali ini ada bayaran mahal atas nyawanya, apa kau tidak tertarik?"

Sang serigala menghadap si gadis mengangkat alisnya lalu tertawa hambar, diam-diam si gadis menarik kembali lengannya tanpa mengalihkan perhatian dari bosnya yang... cukup rupawan.

"Memangnya aku tidak pernah?" sang serigala bertanya kepadanya. Maksudnya si pemuda tentu saja tertarik pada uang, memangnya apa yang mereka lakukan selama ini? Namun pada saat-saat tertentu, pekerjaan yang menguras segala-galanya itu harus dikesampingkan dahulu. Demi liburannya maka sang serigala berkata demikian.

Ditatap oleh sepasang mata si pemuda yang intens, pipi si gadis tiba-tiba terasa panas. Si gadis berlalu membiarkan bosnya menekuni cat dan kanvasnya kembali. Kini dia berjalan-jalan kecil di tengah ruangan dengan jantung yang masih berdegup kurang ajar.

"Aku... Ekhmm... hanya menebak. Jadi, dulu kau tidak menaggapi surat pengajuan dari anak laki-laki itu karena dia tidak cukup membayarmu bukan?"

Merasa pembicaraan ini tidak ada pangkalnya, sang serigala menyerah, meletakan kuas dan memunggungi lukisannya yang baru setengah jadi, sambil berjalan melintasi ruangan, sang serigala berkata. "Kau tidak sedang berniat mengganggu liburanku yang singkat ini, Plum?"

Sang pemuda mengambil tempat duduk di sofa berlengan dan meneguk guci anggurnya. Dia mendesah merasakan minuman itu membasahi kerongkongannya. Anggur terbaik selalu berasal dari tempat jauh. Sang Serigala menggoyang gucinya, memastikan isinya dan ternyata kurang dari setengahnya. Sayang sekali. Jendela-jendela di ruangan itu tertutup rapat tapi tirainya sengaja dibuka lebar. Di balik kaca, malam musim gugur membekukan udara.

Tiba-tiba sang pemuda berpaling pada gadis yang hanya berdiri mengamatinya.

"Plum kau bisa bacakan satu dari tumpukan kertas itu padaku atau kau mau menjelaskan apa, itu, ocehanmu."

"Oh," sang gadis terlihat berusaha menyadarkan diri sendiri. "Begini," katanya dengan berapi-api. "Sebagai asisten aku menyarankan kau, maksudku bos menyetujui ajuan klien atas nyawa Gretel Baroness. Tiga kali lipat dari bayaran termahal dari yang biasa kita peroleh, mohon catat itu bos. Nah, nona Baroness kita ini dalam waktu dekat sudah menghilangkan nyawa du-a o-rang..."

Sang serigala menelengkan kepala seakan berkata, tunggu sebentar. "Baroness? Apa kita mengenalnya?"

Mata si gadis terbelalak tidak percaya. "Ya ampun bos, kau tak ingat? Jadi dari tadi aku ngapain? Uh, apa boleh buat. Darimana ya aku harus mulai... Begini saja... Surat-surat Hansel Baroness dari rumah komunitas distrik tenggara..."

Sang serigala memandang si gadis sekilas dan gadis itu pura-pura tidak tahu menahu dan mulai berceloteh segala informatif yang kini bergulir diingatan sang serigala bagai tetes air jatuh di atas tisu.

Lihat selengkapnya