Heartless

yShine
Chapter #4

Permen dan Kue Jahe

Apakah kau mau minum denganku?

Permen jahe juga masih ada.

Ckckck lihat! Sekarang aku dikurung.

Saljunya tidak mau berhenti sih sampai menumpuk begitu di jendela.

Saat seperti ini aku tidak tahu apa yang harus dilakukan karena aku tidak suka baca buku. Aku pernah baca buku mengenai tanaman tapi sudah kukembalikan ke perpustakaan. Hmm apa ya... Water hemlock, Datura stramonium, Foxglove, Wisteria, Aconite... Bunga-bunga itu beracun. Buku yang sangat berguna bukan?

Aku sudah memikirkan membuat teh dari bebungaan tersebut lalu kuteguk. Aduh mau saja begitu soalnya aku mau ketemu Hansel. Tapi sampai sekarang aku tidak melakukannya karena seseorang membuatku sulit.

Aku tidak boleh mati, begitu katanya.

Ih, aku tidak suka dia.

Pernah dengar seseorang bernama Jupitter? Maksudku Jack, aku lebih suka Jupitter tapi orang-orang di Rosary Tavern memanggilnya begitu. Jack seperti sipelaut? Menurutku Jack terdengar seperti serigala dan tampangnya benar-benar mirip pencuri.

Tapi Jupitter adalah pemuda yang banyak omong dan tidak masuk akal.Kuberitahu apa yang sudah dibisikkannya padaku, "Menghilangkan nyawa seseorang adalah perbuatan tidak baik." begitu katanya.

Hei bukankah aku sudah dua kali? Dia bilang aku harus dihukum. Sampai saat itu aku bertanya-tanya apakah benar? Bagaimana kalau satu kali lagi saja aku melakukan apa yang dia sebut pembunuhan apakah tidak apa-apa?

Aku mendapat sepucuk surat atas nama Sable Valenciano beberapa hari setelahnya, suratnya diantar oleh pengantar surat yang memakai syal tebal meliliti leher hingga hidung, soalnya hari itu salju turun terus seperti hari ini. Kupikir semua orang ingin bergelung dengan selimutnya ternyata ada saja yang mau mengetuk pintuku.

Ingatkah bahwa Sable menyukai kapten Darian? Betul, dan tahukah sang kapten sudah mati? Rupanya gadis itu ingin mati juga. Itu dia, bawakan sesuatu yang dapat menewaskannya. Aku suka Sable jadi saat itu aku memutuskan untuk berbuat baik kepadanya....

Selepas salju berhenti turun dihari itu dan menyisakan tumpukan putih disana-sini, kukenakan mantel warna merah yang sudah kekecilan itu lalu bergegas menuju pondok musim panas milik keluarga Valenciano. Jaraknya tidak sampai berkilo-kilo dari kota. Walau begitu aku lebih suka kalau dia menyuruhku datang ke rumahnya paling tidak jalanan kota ada yang membersihkan, kalau di hutan botsku terbenam cukup dalam, merepotkan.

Lagipula aku tidak suka jalan sendirian saat salju menyelimuti segalanya, putih dan terang, kemegahannya membuatku merasa sekecil batang korek api. Aku percaya dimusim panas seisi hutan bernyanyi kemudian saat musim dingin tiba pepohonanpun terdiam seakan seluruh kehidupan disana telah tersedot.

Pondok Valenciano berdiri di tepian sungai yang sudah beku dan sekelilingnya tampak pucat. Rumah kayu itu satu-satunya hal yang memancarkan kehidupan hangat, sesuatu yang mengingatkanmu rumah yang aman dan nyaman.

Begitu aku mengangkat tangan untuk mengetuk, pintunya terlanjur mengayun ke dalam. Udara hangat dan bau kayu terbakar menamparku.Aku lupa rumah yang nyaman ditepi hutan tidak selalu aman bagi anak-anak karena penyihir jahat kadang tinggal di dalamnya.

Dalam cahaya perapian perempuan itu tersenyum padaku.

Merah cerah dan berduri, rupanya aku menjumpai tanaman Venus flytrap.

"Terimakasih bersedia datang Gretel." katanya. "Jangan berwajah begitu. Ayo, masuklah."

Menurutku kakiku tidak mau melangkah ke dalam karena lebih baik pulang lagi, tapi dia buru-buru menarik lenganku lalu pintunya tertutup.

"Kau bukan dia," kataku. "Dimana Sable?"

"Aku Sable, maksudku apakah aku tidak terlihat seperti dia?"

"Tidak," kataku. "Rambutmu merah, kau Linnet."

Linnnet memiringkan kepalanya seolah sedang mengingat sesuatu. "Rambutku kena saus Cranberry?" katanya lalu dia tertawa. "Kau tidak suka rambutku ya?"

"Aku suka rambutmu," kukatakan padanya. "Benar-benar indah."

"Terimakasih." Linnet mengambil tempat duduk di seberang meja kayu sederhana yang sudah diisi peralatan minum teh. Dia mengisaratkan agar aku mengisi kursi satunya. "Dulu aku selalu mengira warna rambutku terlalu aneh, membuat wajahku kelihatan pucat. Ah, kita tidak ingin membicarakan warna rambut kan?"

"Tidak," jawabku.

Linnet mengangguk. "Lebih baik begitu, bukankah akan menghemat waktu, bagaimana menurutmu?" kujawab "Bagus."

Lihat selengkapnya