Makan malam pertama mereka, Alera lupa mengambil piring dengan jumlah yang cukup—kurang satu. Itu artinya, ada yang harus makan berdua.
Langit menggoda sambil cekikikan,
“Makan sama Alera aja, Ketua!”
Kalavi menjawab cepat, singkat, dan dingin. “Gue kenyang.”
Alera menyeringai tipis. “Bagus dong.”
Namun saat Kalavi hendak pergi, Alera menahan lengannya.
“Kalau nggak mau makan bareng gue, bilang aja. Tapi kalau lo kelaparan nanti, ya tanggung sendiri.”
Kalavi menatapnya datar. “Gue bilang gue nggak lapar.”
“Lo bohong,” balas Alera cepat.
Eva yang menyaksikan adu mulut itu langsung protes. “Belum juga dua puluh empat jam, udah musuhan aja!”
Linzy yang sedari tadi memperhatikan mendekati Kalavi. “Ya udah, Kalavi, kita bareng aja. Ini ada ayam enak banget, lho!”
Kalavi pun akhirnya mengiyakan dan duduk di dekat Linzy. Alera benar-benar tak habis pikir—bukan marah, tapi kecewa. Dia hanya ingin berbaik hati, tapi cowok itu selalu saja terkesan dingin, jutek, dan semaunya.
Tiba-tiba hujan turun deras sekali. Semua peserta berlari masuk ke tenda darurat besar yang bisa menampung puluhan orang. Hanya regu Rinjani yang masih berlarian di luar, berjuang mengamankan barang-barang mereka di bawah hujan.
Kalavi berjongkok di sisi tenda, bajunya basah kuyup. Di sisi lain, Alera juga berusaha menarik tali tenda, rambutnya menempel di pipi karena basah.
“Alera! Tarik ke arah lo sedikit!” teriak Kalavi.
“Gue udah tarik dari tadi, tali ini malah longgar!” balas Alera kesal.
Kalavi mendengus, bangkit, lalu memeriksa. Ternyata benar—pasaknya belum tertanam kuat. Ia langsung mengambil batu dan mengetuk pasak dengan cekatan. Alera diam-diam memperhatikannya.
“Kenapa lo nggak marah?” tanya Alera, setengah penasaran.
“Kenapa harus marah?” jawab Kalavi tenang.
“Lo kan selalu marah.”
Kalavi mengangkat alis. “Apa lo pikir gue bakal marah setiap waktu?”
“Tadinya iya.”
Mereka berdua pun tertawa kecil. Di tengah hujan deras, tenda akhirnya berdiri kokoh. Regu lain yang memperhatikan menatap iri—bukan hanya karena tenda mereka berdiri sempurna, tapi karena Kalavi dan Alera terlihat begitu kompak.
Saat hujan mereda, Alera mulai merasakan kedinginan. Tubuhnya menggigil meski sudah mengenakan dua jaket dan pakaian berlapis. Dinginnya menembus sampai ke tulang.
Tiba-tiba Kalavi sudah duduk di depannya.
“Siniin tangan lo.”
Alera menoleh ke Dein. Dein hanya mengangkat alis dan mengangguk.
Kalavi lalu mengikatkan kain di kedua tangan Alera.