Hearts to Venturer

Adinda Amalia
Chapter #4

03: Setengah Puncak Welirang [Hari 2 - Siang]

Edan1.”

Jeje tertawa, melihat teman-temannya sudah mengeluh sejak briefing pagi dari Kak Anggara terkait kegiatan hari ini. Anak-anak SMA yang dikumpulkan dari berbagai kota itu, hari ini diagendakan untuk mendaki Gunung Welirang, gunung tertinggi kelima di Jawa Timur. Jelas tidak ramah pemula.

Namun, setidaknya, mereka masih bisa sedikit bernapas lega saat Anggara mengatakan, “Sampai Pos Tiga, kemudian kita akan turun lagi.” Artinya, hanya kurang dari setengah pendakian menuju puncak.

Mendaki bisa dibilang kegiatan sehari-hari kesukaan akamsi. Namun, bila harus sambil mengawasi anak-anak pramuka itu, rasanya jelas tak akan jauh berbeda dari menjaga anak TK keliling kebun binatang. 

“Semua regu harus bekerja sama, saling support. Akamsi hanya berjaga-jaga untuk keadaan darurat. Jadi, yang diandalkan tetap rekan-rekan satu regu! Paham?”

“Paham!”

Semua regu bersiap-siap dengan bawaannya mereka. Rempong sekali, pikir Jeje, meski dari luar dia hanya ketawa-ketiwi sambil melemparkan candaan-candaan. “Ini mau mendaki kan, ya? Bukan diusir dari rumah?”

“Mau nyari kos-kosan ini, Je.”

Mereka membawa tongkat mendaki, tas besar berisi makanan, minuman, obat-obatan, topi, rompi, dan sepatu boots—kata mereka biar lebih gampang mendakinya. Sementara Jeje yang akamsi itu hanya membawa satu botol minum ukuran sedang, pakaiannya pun hanya kaos lengan pendek, celana kain panjang polos, dan sepatu biasa—itu pun hanya karena Kak Anggara memintanya untuk berpakaian sedikit lebih sopan mengingat ini adalah kegiatan nasional. Bila di hari lain, Jeje pasti ke gunung tanpa alas kaki.

“Semuanya, berangkat!” seru Anggara, memimpin rombongan di paling depan.

Jalur pendakian terdekat yang diambil adalah Sumber Brantas. Bila, mendaki melalui jalur ini, biasanya dimulai dari Pos Perijinan yang baru dibuka pukul 08.00 pagi, kemudian barulah menuju Pos Satu dengan waktu 40 menit—30 menit ditempuh menggunakan mobil pick-up dan 10 menit jalan kaki. Namun, mengingat area tenda Camp Pramuka Nasional telah berada di kaki Gunung Welirang sisi Kota Batu, perijinan untuk mendaki telah diurus oleh Anggara sejak awal sehingga mereka bisa langsung start menuju Pos Satu yang membutuhkan waktu 15 menit berjalan kaki, dimulai pukul 06.00 pagi.

Tak ada yang terlalu sulit di awal-awal pendakian. Medannya masih sama persis dengan area di sekitar perkemahan mereka. Istirahat 10 menit saat sampai di Pos Satu pun terasa seperti waktu luang di tengah piknik. Semua masih bisa tertawa dan bercanda ria, setidaknya sampai mereka melanjutkan pendakian.

Pukul 06.25, mereka mulai mendaki menuju Pos Dua dengan medan lumayan terjal yang kemiringannya 35-5 derajat. Trek didominasi tanah, syukurlah tidak turun hujan kemarin sehingga tidak licin.

“Masih jauh, ya, Kak?” kata Eva saat Anggara menunggu di tepi trek untuk mengawasi anak-anak pramuka.

“Belum ada setengah jalan!” sahut Anggara tegas. “Jangan manja!”

Eva dan seluruh anggota Reju Rinjani langsung terlihat tegang. Sementara itu, Jeje yang berjaga dari paling belakang, tertawa. “Sabar,” katanya dengan nada bersahabat, “wong sabar atine ombo, cukup gawe wong telu2.

Guwendeng arek iki!3” Nalendra menyahut dari rombongan Regu Bromo yang kebetulan tepat di belakang mereka.

Agaknya, hanya para akamsi yang masih lepas bercanda tawanya dengan tenaga yang tak terlihat berkurang sama sekali, sedangkan anak-anak pramuka mulai terlihat lelahnya.

Setelah satu setengah pendakian, akhirnya mereka sampai di Pos Dua. Namun, ini hanya baru setengah perjalanan. Anggara memberikan waktu 20 menit untuk istirahat. “Kaki jangan ditekuk! Minum air jangan banyak-banyak supaya gak sakit perut!”

“Siap, Kak!” seru mereka, masih kencang, tetapi terdengar mulai loyo.

Pukul 08.30, mereka melanjutkan pendakian menuju Pos Tiga. Treknya masih serupa, didominasi tanah. Namun, mental mulai diuji oleh kemiringan yang makin curam, kini di sekitar 45-65 derajat.

Jeje berpindah dari sisi paling belakang rombongan Regu Rinjani, menjadi ke depan. Secara tak langsung memberikan contoh bagaimana cara melewati setiap rintangan di trek, meski dia tak mengatakan apa pun, selain menyahuti perdebatan di antara Kalavi dan Alera yang belum juga berhenti sejak start pendakian. “Kok ngelirik Alera mulu dari tadi, Vi?”

Kalavi langsung kesal. “Gue jagain anggota, ya! Lihat aja tuh cewek mukanya udah kelihatan capek banget. Mana dari tadi ngeluh mulu, sakit telinga gue!” Dia kemudian menatap gadis itu lagi. “Mana yang katanya bukan cewek lemah?!”

Alera, yang saat Jeje menengoknya ternyata memang benar bahwa gadis itu mulai terlihat kewalahan dengan trek pendakian, menyambar balik, “Songong lo! Tadi aja hampir kepleset!”

Jeje tak tahan untuk tertawa lepas. “Kalau berantem mulu nanti suka, lho.”

Keduanya langsung menyahut dengan sewot, “Dih, ogah banget suka sama dia!”

Tentu saja, itu hanya membuat tawa Jeje makin kencang.

Lihat selengkapnya