“Udah cabut aja, Je?”
“Biasa lah, mau bantuin Bunda.”
Anak-anak pramuka sampai di area perkemahan mereka di sore hari, nyaris malam. Kegiatan langsung disusul dengan evaluasi dari Kak Anggara. Akamsi sebenarnya sudah bebas tugas untuk hari ini. Meski demikian, beberapa masih ada yang berkeliaran di sekitar.
Jeje baru kembali malam harinya, saat seluruh kegiatan telah usai. Dia menghampiri tenda Regu Rinjani. Mereka semua berkumpul di depan tenda. Ada yang duduk di kursi, ada yang asal duduk di tanah. “Alera, kamu gak apa-apa?”
Gadis itu menoleh menatapnya. “Tadi sore udah diobatin sama petugas medis sih, ini aja diperban sekarang.”
“Jangan banyak jalan dulu biar gak makin parah sakitnya. Kalo temen kamu gak ada yang mau bantuin, biar aku yang bantuin.”
“Gombal,” sahut Kalavi.
“Gombal gombal gini aku bermaksud bantuin, ya. Kalau sampai besok pagi Alera belum sembuh, kalian juga yang bakal diomelin Kak Anggara. Nanti aku yang seneng bisa nontonin kalian diomelin,” Jeje kemudian tertawa kencang, walau maksudnya bercanda.
“Enak, aja!” Kalavi masih sewot. “Eh, lagian, tanpa bantuin lo, kami juga udah bisa ngerawat Alera!”
Jeje selangkah mendekat, berdiri di depan Alera yang duduk tak jauh dari tenda. Cowok itu membungkuk, membuat jarak di antara wajah mereka menjadi singkat. “Kamu beneran gak ada luka lain?”
Kalavi langsung bersungut-sungut, “Nah kan modus!”
“G—gak apa-apa kok.” Alera tersenyum kecil, bohong bila dia tidak merasa senang dengan bagaimana Jeje begitu khawatir dan perhatian padanya. Kemudian saat menatap Kalavi, wajahnya langsung berubah drastis. “Bisa diem gak sih lo, Vi?!”
Jeje tertawa. “Eh, ngomong-ngomong. Ini lho, Bunda nyiapin daging ayam, udah dimarinasi sama dipotong kecil-kecil, tinggal ditusuk lalu dibakar aja.” Dia meletakkan wadah plastik berbentuk kotak di dekat Eva yang sedang menyiapkan alat-alat masak mereka.
“Loh? Makasih, lho, Je. Ngerepotin,” seru Putra, juga yang lainnya, mennyampaikan rasa syukur mereka.
Kecuali satu orang, tentu saja Kalavi. “Dapat ayam dari mana, Je? Nyolong, ya, lu!”
Jeje langsung mencibir, “Ning omah ki aku duwe pitek akeh, ora usah aran-aran ngunu. Jan arek sitok iki kok guething karo aku ki lapo tho, rek? Raiku rai-rai maling tah piye?8”
Gelak tawa langsung pecah di antara mereka semua, dan jelas-jelas semuanya karena alasan yang sama—banyolan Jeje sekaligus caranya bicara. “Suaramu itu, lho, Je, medhok banget. Padahal kalau ngomong bahasa Indonesia, logatnya biasa,” kata Putra.
“Mukanya bule lagi!” tambah Langit.
Aksen bule pada wajah Jeje juga tidak nanggung. Matanya biru cerah, rambut pirang, dengan kulit putih khas orang-orang barat. Tubuhnya tak setinggi bule pada umumnya, sebelas dua belas dengan anak-anak seumurannya yang murni berdarah lokal.
Mungkin terkesan tidak garang, tetapi dia seperti kanari putih keemasan, bertengger di dahan pada tengah-tengah yang dipeluk oleh langit biru bersama awan-awan membentuk tatanan abstrak seperti goresan kuas.
Elegan.
Asalkan dia diam saja, bukan tertawa sambil melemparkan banyolan-banyolan.
Gelagatnya yang tak pernah serius, apalagi menjaga image, membuat kesan yang keluar dari cowok itu terasa berbeda.
“Coba ngomong Inggris, Je,” kata Putra penasaran.