Dentuman lagu “Oke Gas” dari pengeras suara, memacu adrenalin siapa pun yang mendengar. Irama cepatnya membuat kaki-kaki otomatis ikut menghentak, tangan terangkat, dan sorakan bergema riuh memenuhi lapangan. Suasana makin panas ketika peluit panjang ditiup—tanda lomba estafet air resmi dimulai. Dua regu tangguh, Rinjani dan Bromo, maju ke garis start. Sorak-sorai penonton makin pecah, menggema bersatu dengan beat lagu. Semua ikut bergoyang, seakan medan lomba berubah jadi arena pesta yang penuh energi.
Di garis awal, ember besar berisi air sudah siap. Setiap peserta harus mengoper air dengan gayung kecil ke ember berikutnya hingga ke ujung. Cepat tapi hati-hati. Kalau tumpah, percuma.
Regu Bromo sudah melesat duluan. Dua kali operan berhasil mulus, air berpindah dari ember satu ke ember lain dengan kompak.
“Wow! Semangat!” Rio berseru riang, tangannya jahil menggelitik pinggang pinru Bromo. Tawa pecah sejenak. Rio bahkan sempat menjewer telinga Kalavi, membuat yang lain tergelak.
“Woi!” Kelpin, pinru Bromo, langsung teriak menggerakkan anggotanya. “Fokus, fokus! Jangan bercanda!”
Rio cekikikan. “Iya dong, harus semangat.”
Operan demi operan berjalan cepat, sampai akhirnya—
“Ups!” teriak Linzy panik. Ember kecil di tangannya terpeleset. Air muncrat deras… tepat mengguyur tubuh Alera di sebelahnya.
“Waduh!” Putra memekik. Semua peserta Regu Rinjani buru-buru menurunkan ember. Pertandingan selesai, mereka kalah telak.
Alera berdiri kaku. Tubuhnya basah kuyup, seragam pramukanya menempel ketat di kulit. Napasnya tercekat, matanya membulat, wajahnya menegang. Ia menunduk cepat, tak tahu harus berbuat apa.
Kalavi baru hendak berdiri, tapi tiba-tiba sebuah jaket hitam sudah melayang ke pundak Alera.
Alera menoleh cepat. “Jeje?” bisiknya.
Kalavi sempat melirik. Tatapannya sulit dibaca, lalu ia menurunkan jaket yang tadinya ingin ia sodorkan. Wajahnya datar. Seolah tidak terjadi apa-apa.
“Alera, ganti baju dulu,” kata Miss Aca. Dein segera menemaninya menuju tenda.
“Le, maaf yah. Tadi gue salah aba-aba, jadi Linzy kaget. Harusnya nggak buru-buru,” ucap Dein merasa bersalah sepanjang jalan.
Alera menghela napas. “Nggak apa-apa kok, Dein. Namanya juga lomba.” Suaranya tenang, tapi jemarinya terkepal erat. “Yang bikin gue kesal tuh Kalavi. Pinru harusnya sigap nolongin wapinru, bukan malah diam. Lihat, Jeje yang lebih peka.”
Dein nyengir. “Emang Jeje tuh peka banget, bisa diandalkan.”
Alera mengangguk lesu. “Tapi… gue malu banget, Dein. Baju gue dilihat nggak sih sama yang lain?”
“Mana ada yang sempat perhatiin. Semua fokus ke ember tumpah.” Dein tertawa kecil.
Setelah berganti baju, Alera kembali ke lapangan. Linzy langsung menghampiri dengan wajah menyesal.
“Maaf ya, Alera…” ucapnya tulus.
Alera menggeleng, memaksakan senyum. “Nggak apa-apa, Linz. Bukan salah lo doang kok.”
Kalavi tiba-tiba mendekat. Tangannya terlipat di dada. “Makanya, penting jaga fokus dan tenang. Biar nggak bikin celaka. Kalau lo nggak planga-plongo, nggak bakal kena.”
“Gue fokus!” suara Alera meninggi, sakit hati dianggap planga-plongo.
“Kalau fokus, airnya nggak bakal muncrat ke lo.” Kalavi menaikkan alis.
“Rese banget lo! Nggak terima kalah, ya?” Alera melotot.
Kalavi tertawa sinis. “Menurut lo? Jelas aja! Kita gagal dapet bintang pertama karena lo.”
Alera menggertakkan gigi, nyaris menangis. Hatinya hancur, sudah basah, masih disalahkan pula.
Putra buru-buru menarik Kalavi menjauh. “Udah, Vi. Emosi lo kepancing lagi. Gara-gara Kelpin pamer bintang doang, kan?”
Yoga menepuk bahu Kalavi. “Santai, ketua. Namanya juga lomba. Ada menang, ada kalah.”
Dein ikut menimpali. “Ini kerja tim, bukan kerja robot. Wajar kalau ada salah. Kalau tim, harusnya saling support.”