Hearts to Venturer

Adinda Amalia
Chapter #7

06: Jurit Malam [Hari 3 - Malam]

Angin malam mulai berembus, membawa hawa dingin yang menusuk tulang. Sementara di lapangan suara alarm dari Anggara menggema keras—pertanda semua peserta harus segera berkumpul.

Namun, di salah satu sudut tenda, Alera masih duduk melamun. Sepatunya terlepas, tali-tali berserakan. Tatapannya kosong, menembus dinding tenda.

“Alera!” suara itu membuyarkan lamunannya.

Alera  menoleh cepat. “Iya, Dein!” jawabnya agak masih setengah kaget.

Dein mendekat sambil menarik napas. “Lo dari tadi dicariin Kak Anggara,” katanya dengan nada cemas.

Alera mengernyit. “Ha? Gue salah apa?”

Dein menggeleng pelan, lalu ikut duduk di samping Alera.

“Kok salah? Ya ampun, Le. Bukan gitu. Semua wapinru dipanggil buat briefing.”

“Astaga!” Alera buru-buru meraih sepatu dan mulai mengikat talinya erat-erat.

Dein memperhatikannya, heran. “Tapi lo kenapa sih? Mukanya kayak abis denger pengumuman kiamat. Lagi mikirin apa?”

Alera menarik napas panjang. Ia tidak langsung menjawab.

“Ada,” ucapnya singkat sambil tetap sibuk mengikat tali sepatu.

“Mau cerita?” tanya Dein hati-hati.

“Keburu nggak?” Alera menoleh sekilas ke jam di tangannya.

“Masih ada dua menit. Cepet, sebelum gue berubah jadi jam digital,” goda Dein.

Alera tersenyum tipis, lalu berbisik, “Tapi jangan bilang siapa-siapa ya…”

“Nanti gue umumin ke semua orang kalau—”

“Dein!” potong Alera cepat, menatapnya tajam.

Dein tertawa. “Oke, oke. Aman. Cerita deh.”

Alera menarik napas lagi. “Gue tuh ngerasa bersalah. Tapi di sisi lain gue juga mikir, gue nggak sepenuhnya salah.”

“Maksudnya?” Dein mencondongkan tubuh.

“Dari awal regu kita terbentuk, gue sama Kalavi sering banget beda pendapat. Terus tadi… waktu lomba estafet air, kayaknya dia bener-bener kecewa karena kita kalah. Dia bahkan nggak ikut makan bareng. Gue kepikiran terus. Gue rasa, mungkin gue perlu minta maaf.”

Dein terdiam sejenak, lalu menggeleng. “Le… gue, bahkan semua anak tim tahu lo udah ngelakuin yang terbaik. Nggak ada yang nyalahin lo. Mungkin Kalavi aja yang lagi nggak bisa ngatur emosinya.”

“Tapi dia pinru…” ucap Alera lirih.

“Justru karena dia pinru, harusnya dia lebih bijak. Bukan malah ngejatuhin tim. Tapi ya, cowok… kadang keras kepala,” sahut Dein sambil tersenyum simpul. “Lagipula, lo nggak perlu minta maaf buat sesuatu yang bukan salah lo sepenuhnya.”

Alera menatapnya lembut. “Makasih, Dein. Serius.”

Dein menepuk bahunya ringan. “Sama-sama. Sekarang kita ke lapangan, sebelum Kak Anggara berubah jadi Hulk.”

Lapangan mulai ramai.  Peserta berbaris dengan wajah lelah tapi penuh penasaran, menanti jurit malam dimulai.

Alera menoleh kanan-kiri, mencari seseorang. Tapi sosok tinggi itu belum terlihat. Kalavi belum muncul. Ia ingin bertanya, tapi gengsinya segunung. Akhirnya ia menghampiri Yoga, si anak kalem yang paling dewasa di regu mereka.

“Yoga?” panggil Alera pelan.

“Hmm?” jawab Yoga sambil mengecek senter di tangannya.

“Pinru… di mana?” tanyanya berusaha terdengar biasa.

Yoga menoleh, lalu tersenyum lebar. “Kalavi? Tumben nanyain dia.”

“Eh, nggak, bukan gitu. Maksud gue, kan kegiatan udah mau mulai…” Alera cepat-cepat menjelaskan, suaranya.

“Ada kok. Lagi ambil logistik di belakang tenda konsumsi,” jawab Yoga.

“Oh.” Alera hanya menjawab singkat. Tapi hatinya sedikit lega. Setidaknya cowok itu nggak ninggalin tim. Meski Cuma kata oh, tapi cukup. Ia tahu Kalavi masih bagian dari mereka. Walau rasa bersalah tetap mengendap di dadanya, meski Dein sudah bilang bukan sepenuhnya salah dia.

Di sisi lapangan, Anggara berdiri bersama delapan anak akamsi yang siap menjadi pendamping jurit malam.

“Saya mau kalian jangan terlalu banyak kasih clue, karena ini ujian yang harus mereka lewati,” pesan Rio.

“Siap, Kak!” jawab anak-anak akamsi serempak.

Beberapa peserta mulai bisik-bisik, terutama ketika melihat Jeje dan Narendra. Dari semua pendamping, dua cowok itu paling menarik perhatian.

“Nanti kalau ada kendala, kabarin lewat HT. Miss Aca udah bagiin?” kata Anggara.

Jeje mengangkat HT-nya. “Ada, Kak.”

“Eh, coba lihat Jeje, matanya cakep banget,” bisik salah satu peserta cewek di sebelah Alera.

Alera hanya mengangguk kecil. Ia setuju—Jeje memang ganteng dan asik. Obrolannya selalu ringan, gampang bikin ketawa.

Tapi matanya tetap melirik Kalavi. Cowok itu tinggi menjulang, wajahnya selalu serius. Kadang ngeselin, tapi kadang juga… bikin deg-degan. Alera tersenyum kecil, membayangkan sesuatu yang tiba-tiba melintas di kepalanya.

Pengen banget gue gelitikin! Batin Alera.

Pasti seru lihat reaksi cowok itu kalau diganggu pas lagi serius begini. Alera terkikik kecil. Suaranya hampir tak terdengar, tapi binar di matanya cukup menunjukkan bahwa malam ini… akan panjang.

“Lo pasti lagi bayangin yang nggak-nggak, kan, Le!” bisik Eva sambil cekikikan.

Alera  mengangguk lalu tertawa.

***

Jarum jam menunjukkan pukul 01:30:26 dini hari.

Malam itu, delapan regu sudah terbagi,  Rinjani, Bromo, Semeru, Kerinci, Latimojong, Gunung Agung, Tangkuban Perahu, dan Cartensz Pyramid. Ada lima pos yang harus mereka lewati, Pos  Anggara,  Rio,  Ridho, Miss Aca, dan Miss Melly.

“Jeje, Rinjani! Galang, Bromo! Narendra, Semeru! Raka, Kerinci! Hito, Latimojong! Sofyan, Tangkuban Perahu! Reza dan Ilham, Pyramid!” kata Ridho sembari mengarahkan kedelapan akamsi berdiri berjejer di depannya.

“Siap, Kak!” seru mereka kompak.

Delapan regu segera berkumpul. Kalavi berdiri  melirik sekilas ke samping. Alera masih cekikikan entah apa yang lucu, bikin Kalavi agak risih tapi juga menahan senyum.

“SALAM PRAMUKA!” suara lantang  Ridho menggema, menggelegar memenuhi lapangan.

“MANA SUARANYA!”

“SALAM PRAMUKA!”

“SALAM!” Suara mereka membahana di udara malam.

“Oke! Perintah pertama, lepas kacunya sekarang!” tegas  Rio. “Kedua, tutup mata kalian! Dan dalam  hitungan ketiga, jongkok!”

“SATU!”

“DUA!”

“TIGA!”

Semua peserta serempak jongkok.

“WOI! Berdiri, yang bilang jongkok itu Kak Rio!” bentak  Ridho, bikin beberapa peserta tesentak.

Lihat selengkapnya