Hearts to Venturer

Adinda Amalia
Chapter #8

07: Anak Mami [Hari 4 - Siang]

“Awas, belakang jurang! Belok!”

Mesin mobil offroad meraung saat berbelok beberapa meter di depan Jeje, kemudian melaju pergi. Itulah kegiatan anak-anak pramuka hari ini, latihan mengendarai kendaraan specialis medan berat, di hutan dalam area kaki Gunung Welirang.

Mereka akan mengendarainya dalam batas area tertentu yang telah ditentukan oleh Anggara. Tentu saja, medan naik turun, tanah tidak padat, dan pohon-pohon tinggi akan menjadi tantangan bagi mereka. Satu mobil berisi empat orang. Mereka perlu bekerja sama: satu menyetir, satu navigasi, dan dua orang memperhatikan keadaan sekeliling. 

Sementara Jeje dan para akamsi berjaga di titik-titik tertentu dengan medan berbahaya seperti terlalu terjal, dekat sungai yang dalam, atau dekat jurang. “Fokus! Hati-hati!” seru Jeje sekali lagi saat mobil lain melintas.

Tatapan Jeje masih terkunci pada mobil itu hingga menghilang di antara pepohonan tinggi. Tak ada yang berbeda, selain perdebatan dua orang yang samar-samar sempat terdengar oleh Jeje ketika melintas barusan.

Tentu saja, suara-suara yang familiar.

Alera dan Kalavi.

Mereka berada dalam satu mobil yang sama. Kalavi menyetir, Alera di sebelahnya. Sementara di belakang, ada Putra dan Dein.

Tak ada yang begitu aneh pada kegiatan kali ini, selain mobil-mobil offroad yang terlihat jelas ugal-ugalannya, geal-geol seperti nyaris lepas kendali. Jeje tidak relate. Wajar, dia akamsi. Bukan cuma muncak, mobil offroad pun sudah dikuasai. 

Bukan kesal atau meremehkan, Jeje malah ketawa-ketiwi melihat para anak pramuka itu kesulitan mengendarai mobil offroad. Selalu menggemaskan mengamati pemula belajar menjinakkan kendaraan tersebut. Mau bagaimana lagi, mereka belum familiar dengan kendaraan liar.

Kemudian, gelak tawa Jeje makin pecah saat mobil kelompok Alera melintas cukup kencang kemudian menukik tajam sehingga gadis itu oleng sampai jatuh dari mobil. Untungnya, Jeje juga cukup tanggap untuk menangkap Alera sehingga tidak membentur tanah atau pohon-pohon besar di sekitar.

“Kalavi! Nyetir yang bener dong!” Alera langsung mengomel. Namun, seperti biasa, bukannya minta maaf, Kalavi malah sibuk membela diri sehingga mereka saling adu pendapat.

Sementara Jeje, tertawa makin kencang melihat mereka.

“Kenapa ini? Kenapa ini?” suara tegas Anggara langsung menghentikan perdebatan mereka. Dia datang membawa motor offroad—memang berkeliling untuk memantau anak-anak.

“Kalavi tuh, Kak!” Alera masih saja menggerutu.

“Apaan sih?! Orang lo sendiri yang lupa pakai sabuk pengaman!”

“Lo nyetirnya juga ugal-ugalan!”

“Udah, gak usah berantem. Sabuk pengaman gak boleh lupa, nyetir juga harus hati-hati!” kata Anggara tegas. “Egonya diturunkan dulu. Kalau memang temennya yang bener, ya diikuti. Paham?”

“Paham, Kak,” kata keduanya, terlihat jelas bahwa sedang berusaha menjaga sikap di depan Anggara, padahal sambil melirik satu sama lain dengan kesal. Alera kemudian kembali naik ke mobil.

Mereka melaju pergi setelahnya, dengan deru kencang mesin kendaraan, memecah hutan di kaki Gunung Welirang menuju sisi lain. Meski demikian, agak samar lagi-lagi terdengar omelan keduanya pada satu sama lain.

Anggara ganti menoleh kepada cowok akamsi di depannya. “Ada yang sampai kenapa-napa, Je?”

“Aman, Kak, sejauh ini.”

“Kalau ada apa-apa langsung lapor aja,” kata Anggara, tegas seperti biasa.

“Iya, Kak.”

Anggara mengangguk, tampak puas dengan kinerja para akamsi yang ditugaskan untuk berjaga sepanjang kegiatan Camp Pramuka Nasional. Setelahnya, dia menyalakan kembali mesin motor offroad-nya, melaju lagi untuk berkeliling mengawasi anak-anak.

Sungguh menggelitik, kejadian barusan.

Jeje pikir tak akan ada masalah lagi, sampai mobil kelompok Alera melintas kembali. Dari kejauhan tempat cowok itu berada, bahkan sudah terdengar perdebatan kencang antara Alera dan Kalavi. Sekali lagi, mobil mereka menukik tajam di tempat yang sama seperti sebelumnya.

Kali ini, Kalavi telat menginjak rem dan gagal memutar setir cukup jauh sehingga mobil mereka terguling akibat gagal melewati tanjakan berbelok—yang padahal tidak tinggi-tinggi amat. Syukurlah mobil tidak dalam kecepatan tinggi. Jadi, ketika jatuh seperti slow motion alias pelan.

Namun, justru itu letak lucunya.

Jeje tertawa lepas kencang sekali.

Setelah beberapa saat, barulah dia menghampiri untuk membantu mereka keluar dari mobil. Tidak ada yang terluka serius. Kalavi dan Putra agak lecet tangannya. Sementara Alera dan Dein aman-aman saja, hanya terbentur tanah dan rangka kendaraan sedikit. Kalau mobilnya, tergores di beberapa titik, tetapi itu sudah menjadi hal yang sangat wajar bagi kendaraan alam seperti ini.

“Kalian kenapa sih….” Jeje masih tertawa sedikit sambil memegang perutnya yang terasa keram—akibat terlalu banyak tertawa.

Keempatnya ikut tertawa sambil melihat kondisi mobil mereka yang tidur miring di tanah. Terhibur, tetapi campur gelisah. “Eh ayo buruan dibenerin mobilnya, nanti ada Kak Anggara lewat, yang ada kita dimarahin karena gak becus,” kata Putra.

“Sumpah, ya, lo nyetirnya gak karuan banget, Vi.” Alera mundur selangkah, memberikan tempat bagi anak-anak cowok untuk memperbaiki posisi mobil. Begitu pula Dein di sampingnya.

Lihat selengkapnya