Hearts to Venturer

Adinda Amalia
Chapter #9

08: Air Matanya Cowok Paling Humoris [Hari 4 - Malam]

“Capek banget rasanya hari ini.” Jeje melahap kepingan terakhir dari snack yang didapatkan saat makan malam bersama para akamsi barusan. Tadi, dia baru kembali bersama Alera dan kawan-kawan—setelah mengendarai offroad di hutan—saat malam telah turun, hanya sekitar beberapa menit sebelum makan malam. Saat ini, Jeje masih berkumpul di area perkemahan anak-anak pramuka, bersama Galang, Nalendra, dan Raka. Mengobrol seadanya sambil bercanda tawa.

Arep ning telogo ra?21” Nalendra tiba-tiba mengusulkan.

Galang menoleh pada teman bulenya. “Mau gak, Je? Biar seger.”

Jeje menengak air setelah selesai mengunyah snack. “Ayo, ayo.”

Kebetulan, tempat mereka berkumpul tak jauh dari tenda Regu Rinjani. Dein dan Eva sedang melintas setelah kembali dari tenda konsumsi—agaknya baru saja mengambil stok es teh yang masih berlebih dari jatah makan malam hari ini. Dein langsung menahan tangan Eva agar ikut berhenti di dekat cowok-cowok itu. “Apa? Danau? Emang ada di dekat sini?”

“Eh mau dong es tehnya.” Galang lebih tertarik pada beberapa gelas cup es teh yang dibawa oleh Eva di dalam suatu kresek ukuran sedang.

Gadis itu mengulurkan bawaannya. “Ambil aja.”

 “Ada, Dein, deket banget,” kata Jeje, matanya kemudian spontan beralih ke Galang yang mengambil salah satu gelas cup dari kresek dari Eva. Terlihat begitu segar. “Eh aku juga mau dong es tehnya.”

“Ambil aja, Je,” kata Eva sekali ini.

“Kita boleh ikut ke danau gak? Gue sekalian ajakin anggota Regu Rinjani yang lain,” kata Dein. “Bosen tahu, di tenda mulu.”

“Gas lah!”

Malam itu, berkat es teh dan danau di kaki Gunung Welirang, Regu Rinjani menghabiskan waktu bersama para akamsi. Tak jauh dari area perkemahan, di tengah pohon-pohon tinggi. Ada satu danau yang airnya begitu tenang, memantulkan ribuan bintang berkilauan dan bulan sabit di langit malam. Hembusan udara pelan, cukup dingin, tetapi juga segar.

Anak-anak Regu Rinjani duduk di sepanjang pinggiran danau, sedangkan para akamsi tak bisa diam. Ada saja yang menarik perhatian mereka, seperti berusaha menangkap ikan-ikan yang sesekali lompat ke permukaan dengan tangan kosong—sungguh berhasil lalu langsung dikembalikan ke air lagi, kejar-kejaran setelah saling meledek satu sama lain, mengambil buah dari pohon terdekat, dan selalu masih ada lagi kesibukan mereka.

“Apa tuh?” Dein penasaran saat Raka berjongkok di tepi danau, tak jauh darinya.

Cowok itu mengambil hewan seukuran setelah telapak tangan, dari tepian danau, bercampur lumpur. Sudah begitu, hewan itu punya enam kaki dengan sepasang capit yang seakan-akan siap menerkam kapan saja.

“Eh, eh! Jangan!” Eva refleks memundurkan badan saat Raka mendekatkan hewan itu kepadanya. Sementara Dein si cewek tomboy, lebih berani dan hanya tertawa kecil, tetapi tampak waspada.

“Ini yuyu namanya,” kata Raka, saat menjauhkan hewan itu dari mereka. “Mirip kepiting, tapi bukan. Yuyu nih emang kecil, gak bisa segede kepiting. Jadi gak usah takut.”

“Tetep aja serem…,” Eva masih seperti berusaha menjauh sebisa mungkin dari cowok itu, “capitnya itu, lho, kayak tajem banget.”

Galang berjalan mendekat pada mereka. “Kalian di kota gak pernah lihat kepiting kecil, kumbang, capung, gitu-gitu?”

“Enggak…,” jawab Eva pelan.

Dari sisi lain danau, Jeje memerhatikan interaksi mereka. Asik juga, pikirnya. Cowok itu berjalan sedikit di sepanjang danau, mencari sesuatu. Kemudian, dengan cepat menemukannya. Setelahnya, dia menyembunyikan itu di belakang punggung, lalu berjalan ke arah salah satu gadis di sana.

“Alera,” panggilnya, dengan nada ceria seperti biasa, seolah-olah tak terjadi apa pun.

Gadis itu menoleh menatapnya. “Kenapa, Je?”

“Mana tanganmu? Mau kukasih sesuatu.”

Dengan polos, gadis itu menurut. Mengulurkan telapak tangannya. Kemudian, Jeje mengeluarkan sesuatu yang sejak tadi di sembunyikan di belakang tubuhnya, untuk diletakkan di tangan gadis itu.

Seekor katak kecil.

Hijau, terasa lembab dan licin di telapak tangan gadis itu.

Lihat selengkapnya