Setelah memutari area camp tiga kali, Kalavi akhirnya menyerah. Ia meminta Langit dan Putra menemaninya mencari Alera. Sementara anggota lain fokus pada persiapan besok, Kalavi sebenarnya malas dan gengsi—tapi mau bagaimana lagi, Alera tetap tanggung jawabnya sebagai pinru.
“Lo yakin dia di sini?” Kalavi bertanya, setengah tak sabar.
“Yakin banget. Gue lihat dia nongkrong sama anak akamsi di tebing sana,” jawab Putra santai.
Mereka sampai di bibir jalan setapak yang mengarah ke tebing. Dari jauh, dua sosok samar terlihat—Jeje dan Alera. Langkah Kalavi langsung terhenti. Tangannya terkepal, rahangnya mengeras, matanya menajam.
Rasa marah dan kecewa bercampur jadi satu. Seharusnya malam ini Alera ikut briefing, bukan malah duduk santai di tempat sepi berduaan begitu. Bagi Kalavi, itu sama saja meremehkan tanggung jawab regu.
Putra hendak melangkah. “Gue panggil aja, ya.”
Kalavi menahan lengannya. “Nggak usah, Put. Biarin aja mereka pacaran!”
Putra mengerjap. “Pacaran?”
Kalavi mendengus. “Menurut lo? Duduk berduaan gitu, kira-kira ngapain?”
Langit yang sedari tadi diam hanya tersenyum kikuk. “Ya… bisa aja cuma ngobrol.”
Kalavi tak membalas, ia berbalik dan melangkah cepat menjauh.
Putra melirik punggungnya lalu terkekeh. “Kan… kambuh lagi. Dasar Kalavi.”
Langit ikut tertawa kecil. “Drama malam ini resmi dibuka.”
“Tuh anak kelihatan banget cemburunya, tapi gengsi!” timpal Putra.
“Emang bisa secepat itu perasaan muncul?” Langit mencibir.
Putra tertawa. “Lima detik aja gue langsung suka Miss Aca.”
Langit langsung menabok kepalanya pelan. “Ngaco banget, lu.”
Mereka pun berjalan balik, meninggalkan tebing.
***
Alera menepuk jidat saat mendengar Dein menirukan gaya Kalavi marah-marah semalam. Ia benar-benar lupa ikut briefing, padahal tak ada unsur sengaja.
“Pokoknya Le, dia dingin banget!” kata Linzy. “Gue aja sampe nggak berani ngomong.”
Eva ikut mengangguk. “Kayaknya mesti minta maaf deh.”
“Masa gue juga kena semprotannya lho,” sambung Dein.
Alera menunduk, rasa bersalah menyusup. Memang salahnya, tapi Kalavi tak seharusnya melampiaskan ke semua orang.
“Paling nyelekit pas gue coba belain lo, dia bilang cuma lo yang pantas dan idenya bisa dipertimbangkan…,” lirih Linzy.
Alera meraih tangannya. “Maaf ya, Linz. Maaf juga, Dein, Va.”
“Nggak apa-apa kok, Le. Emang Kalavi aja yang lebay,” sahut Eva.
Mereka pun bersiap menuju lapangan.
Di sisi lain, Kalavi termenung. Sejak jurit malam dan kegiatan mengemudi itu, ia pikir hubungannya dengan Alera bakal membaik. Nyatanya, cewek itu malah bikin dia makin kesal. Terlalu sering berbaur dengan Jeje, terlalu santai seolah tanggung jawab cuma formalitas.
Sikap diam Kalavi membuat suasana regu ikut tegang. Ia jarang bicara, kalau pun ada, biasanya lewat Yoga—si tangan kanan andalan.
Setelah senam pagi, Miss Aca membagikan cokelat ke semua peserta. Seketika mood Kalavi berubah. Bukan karena cokelatnya, tapi karena yang membagikan—Miss Aca. Cantik, tegas, tapi ramah.
“Kalavi, ganteng banget pagi ini!” puji Miss Aca.
Senyum lebar langsung merekah di wajah Kalavi. Alera dan Dein sampai melongo. Nih cowok apa Aliando GGS, kalau senyum gitu bisa auto nge-hypnotis. Alera buru-buru mengibaskan pikiran itu. Ngapain juga kagum sama cowok nyebelin kayak Kalavi.
Sadis, gampang banget mood swing! Sebal Alera.
Sarapan selesai, tapi Kalavi entah menghilang ke mana. Alera mendengus. Anak Jaksel banget sih, nggak doyan masakan tim, harusnya Kalavi mengubah sikap buruknya itu.
“Cari sana, Le!” kata Dein tiba-tiba.
Alera refleks menoleh. “Cari Kalavi, maksudnya?”
Dein mengangguk.
Alera menemukannya duduk santai di depan tenda, makan sendiri.
Manja banget sih! Batinnya.