Dentuman tembakan menggema di sepanjang kaki Gunung Welirang. Peluru plastik berbentuk bulat menancap di papan target, sejauh lima belas meter. Anggara menurunkan airsoft gun di tangannya. “Nah, kayak gitu contohnya. Ayo, sekarang semuanya coba!”
Kegiatan peserta Camp Pramuka Nasional hari ini adalah latihan menembak menggunakan airsoft gun, yaitu replika senapan yang berisi BB, peluru plastik yang biasa digunakan dalam olahraga, permainan, atau simulasi perang-perangan. Mereka memanfaatkan area cukup luas di sekitar kaki Gunung Welirang yang kebetulan tak terlalu banyak pohon tinggi sebagai shooting range alias lapangan tembak.
Selain memegang airsoft gun masing-masing, mereka juga mengenakan kacamata khusus yang berukuran tebal serta sebuah rompi, untuk mengantisipasi bila tak sengaja terkena tembakan peluru BB. Sesungguhnya, tak akan terluka serius bila terkena peluru plastik tersebut, tetapi keamanan para peserta tentu lebih utama.
Begitu pula akamsi, mengenakan perlengkapan lengkap. Kalau ini, memang sangat krusial. Pasalnya, akamsi ditugaskan untuk berjaga di pinggiran shooting range dari hewan-hewan agar tidak tidak masuk karena berpotensi terkena tembakan peluru BB dari para peserta pramuka yang sedang latihan. Mengingat mereka yang sedang berlatih saat ini adalah para pemula, bukan hanya hewan yang tak sengaja masuk, para akamsi yang berjaga juga sangat memungkinkan untuk terkena tembakan yang meleset.
“Postur dijaga!” seru Anggara, begitu tegas. Mungkin karena begitu banyak peserta yang berulang kali melakukan kesalahan serupa sehingga kesabarannya menipis. “Gak usah takut kalau mau nembak! Arah peluru itu ke depan, bukan ke kalian!”
“Siap, Kak!” Mereka menyeru, tetapi wajah-wajahnya begitu jelas sedang tertekan.
“Pundak diangkat tegap! Lurus! Harus berapa kali kalian ini perlu dibilangin?!” Anggara berjalan bolak-balik di belakang anak-anak yang bergantian menggunakan airsoft gun dengan rekan regunya. “Fokus! Jangan sampai tangannya gemetaran! Mau membidik apa kalau kalian lembek kayak gitu?!”
“Baik, Kak!”
Sementara itu, di sepanjang pinggiran shooting range, Jeje kebetulan bersebelahan dengan Galang dan Nalendra. Sudah tugasnya hanya berdiri dan mengawasi hewan-hewan yang hampir tak pernah melintas—sebagian besar pasti sudah langsung menjauh dengan sendirinya karena mendengar suara ramai dari latihan maupun rangkaian kegiatan Camp Pramuka Nasional yang telah berlangsung sejak beberapa hari lalu—berdekatan dengan sohib pula. Mana bisa serius?
Nalendra reflek memejamkan mata saat salah satu tembakan peluru BB mengarah ke matanya, dihalang oleh kacamata khusus yang dikenakannya. Dan itu bukan terjadi satu dua kali. “Kenapa aku yang ditembak mulu sih?! Papan targetnya kan di sana….”
Galang menatapnya. “Kapan lagi ditembak duluan? Katanya dari dulu kamu pengen ngerasain ditembak duluan.”
“Bukan ditembak yang kayak gini!” Sekali lagi, tembakan lain meleset ke arah Nalendra, kali ini mengenai rompi di dadanya. “Iya, iya, lanjutin aja terus, emang aku targetnya!”
Sementara Jeje, sejak tadi lumayan asik sendiri mengamati anak-anak pramuka latihan menembak. “Eh, anak-anak Regu Rinjani lumayan bagus, tahu. Banyak yang bisa. Paling jarang dimarahin Anggara juga.”
Galang ikut menatap mereka, kali ini Kalavi yang memegang airsoft gun setelah bergantian dengan Yoga. “Si pinru tuh termasuk yang paling jago. Walaupun cuma sekali dua kali dapat skor maksimal, tapi tembakannya gak perlu keluar dari papan target.”
Nalendra ikut mengamati seseorang yang dimaksud. “Cowok itu anaknya orang kaya gak sih? Keliatan dari gayanya. Aku gak kaget kalau ternyata dia udah pernah pegang airsoft gun sebelumnya. Nembak kan salah satu hobi mahal.”
Masih memandangi mereka sedikit lebih lama, Jeje kemudian hendak ikut berkomentar saat dia merasakan ada sesuatu di area hutan sebelah mereka. Dia menoleh, lalu langsung heboh, “Pitek! Pitek! Piteke sopo iki?! Ndang digusah, rek!24”
Seketika, Nalendra dan Galang langsung ikut panik. Lalu buru-buru menghampiri untuk mengusir ayam tersebut. Mau bagaimana tidak panik, ayam selalu saja menjadi hewan paling aneh. Di pinggir jalan, ayam-ayam sering menyeberang ketika ada kendaraan melintas. Entah di mana logika dan insting bertahan hidup hewan tersebut. Bila mereka tidak buru-buru, bisa saja ayam itu memasuki area shooting range.
Jeje tertawa saat Galang dan Nalendra sampai mengejar ayam tersebut memasuki sisi lain hutan supaya benar-benar pergi cukup jauh.
Latihan menembak oleh anak-anak pramuka dijeda sejenak di siang hari sebagai waktu istirahat dari Anggara. Sebagian meninggalkan shooting range untuk kembali ke tenda atau pergi ke tempat lain, tetapi Regu Rinjani tampak masih berkumpul di tempat yang sama.
Jeje iseng menghampiri mereka. “Gimana tadi? Anggara galak banget tuh keknya sepanjang kegiatan.”