Hearts to Venturer

Adinda Amalia
Chapter #13

12: Little Jantzen [Hari 6 - Malam]

Hembusan angin pelan menggelitik wajah dan rambut pirang Jeje. Dia menutup mata sebentar, merasakan dingin khas Kaki Gunung Welirang yang menenangkan. Kegiatan anak-anak pramuka telah usai sejak sore tadi sehingga saat ini dia bisa beristirahat.

Jeje sejak tadi duduk di ayunan panjang dari kayu dicat putih, berdiri kokoh dengan sedikit-sedikit ukiran meliuk. Di sekelilingnya ada bunga-bunga beragam warna, dengan daun hijau segar. Seperti taman kecil yang memeluk lembut.

Cowok itu membuka mata, punggungnya menyandar ayunan. Saat memandang ke atas, lautan bintang di tengah langit malam begitu gemerlap menyapanya, atap bumi yang tak pernah tidak dikaguminya.

Tempatnya berada saat ini, tak begitu jauh dari area perkemahan anak-anak pramuka. Namun, seperti biasa, tempat-tempat bagus di kaki Gunung Welirang tak jarang dimasuki oleh orang asing, hanya diketahui oleh akamsi.

Tak mungkin ada yang menyusulnya kemari.

Namun, di saat itu juga, tiba-tiba terdengar suara lirih seorang gadis dari belakang, “Loh ada lo juga?”

Jeje menoleh belakang. “Alera? Kok kamu bisa tahu tempat ini?”

“Nalendra yang ngasih tahu.” Alera duduk di sebelah Jeje di ayunan yang memang muat untuk dua orang. “Katanya recomended banget, sayang kalau gak didatangin selagi gue masih di sini.”

“Kenapa sendirian?”

“Gue niatnya mau ngecek dulu kayak apa sih tempatnya, kalau emang gue suka baru deh ngajakin anak-anak Regu Rinjani. Tapi, ternyata ada elo juga. Dan… tempatnya kecil sih, jadi,” gadis itu tertawa kecil, “mungkin gue ngajakin mereka kapan-kapan aja.”

Jeje terdiam untuk sesaat. Dia tak mau geer, tetapi sikap Alera seolah-olah di kesempatan ini, dia ingin berduaan saja dengan cowok itu.

“Gak apa-apa kan, Je?”

Jeje tersadar dari pikirannya sendiri. “Gak apa-apa, kok.”

Entah mengapa, berada di dekat Alera sekarang membuat Jeje merasa lebih nyaman daripada sebelumnya. Mungkin karena siang tadi dia mulai mengetahui bahwa gadis itu adalah pendengar yang baik. Dia benar-benar memerhatikan dan memberikan respons yang sama excited-nya dengan dirinya sehingga Jeje berada begitu dianggap.

Dan itu membuat Jeje kini makin enteng alias terbuka untuk bicara kepada gadis itu. “By the way, Alera, maaf ya, dua hari lalu waktu main offroad sama di danau, aku bentak-bentak.”

“Oh, soal itu….” Alera sedikit terkejut, sepertinya karena Jeje tiba-tiba memilih itu dari sekian hal untuk dibahas, tetapi gadis itu tak terlihat keberatan sama sekali. “Jujur, gue kaget dan agak takut—maksudnya lo tiba-tiba berbeda gitu. Tapi, gak apa-apa kok. Gue gak mempermasalahin. Lagian, emangnya kenapa kok lu sampai kayak gitu?”

Jeje menghela napas. Terdiam selama beberapa saat, sebelum akhirnya buka suara dengan lirih. “Aku keinget sesuatu di masa lalu. Dan aku sama sekali gak mau sampai melakukan kesalahan serupa. Jadi, aku berusaha buat menghindarinya sebisa mungkin.”

Gadis di sebelahnya tertegun. “Masa lalu?”

Bagi orang-orang di sekitar Jeje, masa lalu cowok tersebut bukanlah rahasia lagi. Waktu itu begitu gempar, hingga hampir tak ada seorang pun yang tak tahu tanpa perlu membeberkan terang-terangan.

Agaknya, baru kali ini, Jeje akhirnya menyampaikan, menceritakan versi sudut pandangnya, seluruh isi hati dan gemuruh kepalanya, kepada orang lain, yang selama ini selalu disembunyikan dalam-dalam.


***


“Jan… tzen….” Itu pertama kalinya Jeje yang masih usia dua tahun, mampu mengucapkan namanya sendiri. Jeje kecil begitu ceria dan senang berinteraksi dengan orang lain. Setiap orang yang bertemu dengannya selalu gemas karena anak itu begitu responsif, tidak pernah takut bila diajak bermain oleh orang lain, dan mudah sekali dibuat tertawa.

Setiap sore, Jeje kecil bermain di sekitar rumah bersama anak-anak lain. Penampilannya khas bocah baru selesai mandi. Pakaian bersih yang dimasukkan ke dalam celana, bedak tebal di wajah, sambil membawa camilan anak-anak.

Jeje baru belajar bicara, masih belum lancar. Sudah begitu, kata-kata yang keluar darinya hanya berbahasa Inggris atau Jerman. “Cat… essen. Essen….25” Dia berpaling dari kucing di tepi taman bermain, kemudian mengejar anak-anak lain seumurannya sambil tertawa riang. “Abwarten! Jeje too, Jeje too!26” Dia mau ikut bermain bersama, maksudnya.

Lucunya. Meski menggunakan bahasa yang berbeda, dia tetap bisa bermain dengan anak-anak lain di sekitar rumah. Kemampuan non-verbal untuk saling memahami yang dimiliki oleh anak kecil, terkadang luar biasa. 

Papanya Jeje dulu turis yang sedang berlibur ke Kota Batu. Bermula dari bertemu dengan tak sengaja dengan salah satu penduduk lokal, mengobrol, kemudian dekat hingga pria itu memutuskan untuk pindah ke kemari dan melamar wanita tersebut yang di masa depan menjadi bundanya Jeje.

Lihat selengkapnya