Kalavi sengaja berbalik tepat saat Alera datang, nyaris secepat Usain Bolt.
“Nggak telat, kan?” Alera terengah-engah, matanya langsung mencari Kalavi.
“Udah kelar!” jawab Kalavi santai, menyeruput minuman isotoniknya—Sprite—sampai bunyi kruk-kruk-nya bikin kuping Alera gatal.
Alera melongo tak percaya. “Kalavi, ini masih jam setengah delapan!” serunya, berusaha membela diri.
“Ya terus? Suka-suka gue dong mau mulai jam berapa,” balas Kalavi cuek.
Alera mengusap wajahnya, napasnya masih belum stabil. Separuh karena lari, separuh lagi karena gemas. Dalam hati, ia bersiap kalau sebentar lagi cowok itu akan nyeletuk sesuatu yang bisa langsung bikin mentalnya drop.
Tapi, yang terdengar justru tawa. “Hahaha!”
Alera melirik. Kalavi tertawa lepas, bahunya ikut naik-turun, bibirnya sampai memerah. Dari sudut itu, hidungnya kelihatan makin mancung—nyaris sempurna. Sadar dengan pikirannya sendiri, Alera langsung menepuk jidatnya.
Duh, kenapa gue mikir yang aneh-aneh?
“Gue bingung sama sikap lo itu!” keluhnya, antara kesal dan pengin nangis. Ia bahkan sempat mendorong Kalavi pelan sampai cowok itu mundur selangkah.
“Sori, gue bercanda,” ucap Kalavi, senyumnya masih menggantung.
“Kalavi!”
“Mau briefing kan? Yuk, jalan.”
Alera Cuma bisa mengangguk pelan. Lumayanlah… hari ini Kalavi nggak beneran marah padanya.
***
Yoga yang biasanya tegas dan pendiam, justru terlihat menikmati setiap gerakan, bahkan menambah gerakan versinya sendiri. Putra dan Langit maju mewakili regu, sementara Kalavi dengan gerakan tegapnya sukses mencuri perhatian.
Linzy bahkan tanpa ragu menggandeng lengan Kalavi. Anehnya, Kalavi tidak menepis. Alera yang melihatnya hanya tertawa kecil, dibalas senyum tipis dari Kalavi, seolah berkata. “Apa liat-liat?”
Usai istirahat, mereka berkumpul di bawah pohon besar.
Kalavi bersandar santai di batang pohon, Putra dan Langit saling bersandar punggung, Yoga berbaring dengan tangan dijadikan bantal, sementara Alera dan Dein rebahan di rumput. Di sudut lain, Linzy dan Eva sibuk meracik jus dari persediaan buah.
“Yeh, berhasil!” seru Linzy, membawa dua gelas. “Yang pertama, spesial buat ketua kita.”
“Thanks.” Kalavi menerimanya tanpa banyak komentar.
“Dan satu gelas lagi… buat kalian semua!”
Putra langsung protes. “Nggak asik banget! Kok ketua dapat spesial?”
“Malah ditanya? Ya jelas dong!” Linzy nyengir.
“Bener tuh! Masa Kalavi dapet satu gelas sendiri,” timpal Eva.
“Nggak solid, Lin!” seru Dein.
Alera hanya tersenyum kecil. Ia tak tahu harus ikut nimbrung atau diam saja.
“Eh, kayaknya kita mulai bahas deh,” ujar Putra tiba-tiba.
“Apa?” Yoga yang semula berbaring langsung duduk.
“Perasaan!” Putra tertawa lebar.
“Jangan mulai, Put,” tegur Kalavi, tatapannya sedikit tajam.
Alera jadi penasaran. Perasaan apa?
“Gue cuma mau semuanya jelas, Ketua!” tambah Putra, makin memancing suasana.
“Udah stop, ah!” Linzy spontan menutupi wajahnya dengan tangan, malu-malu.
“Oh, ada yang cinlok ya?” tanya Alera polos.
“Makanya, Le, ikut briefing biar nggak ketinggalan gosip panas!” seloroh Langit.
“Gosip panas kayak nasi goreng buatan Linzy untuk Kalavi itu, kan?!” celetuk Eva, disusul tawa Dein.
Alera ikut tertawa, walau hatinya terasa aneh.
“Guys! Prepare!” suara Rio terdengar lewat mic.
“Ais, batal deh ghibahnya!” Putra berdiri cepat.
Dein mendekat ke Alera. “Lo mau tau nggak?”
“Apa?”
“Linzy pernah confess ke Kalavi… pas lo nggak datang briefing kemarin.”