Hearts to Venturer

Adinda Amalia
Chapter #16

15: Alera Nomor Satu Harga Mati [Hari 8 - Siang]

Cahaya matahari terasa hangat. Sebagian sampai di kulit, sebagian terhalang oleh dedaunan lebar di atas pohon. Gemericik khas aliran sungai sudah membuat Jeje seakan-akan bisa merasakan seberapa segar airnya.

Hari ini, anak-anak Camp Pramuka Nasional sedang latihan berenang di salah satu sungai di kaki Gunung Welirang. Selebar tujuh meter dengan kedalamannya yang melandai dari tepian ke tengah sedalam satu setengah meter. Airnya jernih dengan laju aliran air sedang.

Menantang, tetapi tetap aman.

“Regu Rinjani, ya, ini?” Anggara mula-mula memberikan teori terlebih dahulu, sambil berkumpul di salah satu titik sungai bersama delapan anak tersebut. “Saya anggap kalian semua sudah bisa renang. Tapi, renang di kolam dan di sungai itu beda. Di kolam airnya tenang, jadi gerakan kalian bisa mudah kendalikan. Sementara di sungai, ada arus air dan dasar sungai yang isinya gak tertebak—bisa ada batu, pasir, ikan-ikan.”

Delapan anak itu mendengarkan baik-baik. Berdiri di pinggiran sungai yang tinggi airnya mencapai perut sudah membuat mereka merasakan arus yang mendorong pelan-pelan, dinginnya membuat mereka membuka mata lebar.

“Sama seperti hampir semua kegiatan selama ini, tenang selalu jadi kunci. Dalam kondisi apa pun, baik sedang berenang atau tenggelam sekali pun. Panik membuat badan kalian jadi susah diatur dan napas cepat habis. Itu bukannya bikin selamat, malah bikin kalian celaka. Ya?”

Mereka kompak mengangguk.

“Pertama, kalau masuk ke sungai, jangan lompat! Sejernih apa pun airnya, kita selalu perlu buat hati-hati terhadap dasar sungai. Siapa tahu dasarnya bebatuan tajam, celaka udah. Makanya, sebisanya mungkin kalau masuk ke sungai pelan-pelan saja sambil inspeksi kedalaman sungai,” terang Anggara lebih jauh. “Kalau arusnya tenang sampai sedang kayak gini, kalian bisa renang seperti biasa. Tapi kalau arusnya kencang, kalian renang dengan posisi kepala di belakang, kaki di depan seolah-olah lagi mengayuh sepeda. Kenapa? Supaya kalau bebatuan atau benda-benda yang menghalangi, gak akan langsung mengenai kepala. Paham, ya?”

“Iya, Kak!”

“Jangan pernah melawan arus sungai! Kalau gak sengaja kecebur ke sungai, renangnya tetap sesuai arus air. Lalu pelan-pelan minggir ke tepian!” lanjut Anggara. “Termasuk kalau kalian sedang asik-asik renang di sungai, lalu arusnya tiba-tiba jadi deras—mungkin karena pengaruh hujan deras di hulu sungai—segera berenang ke tepian lalu keluar dari sungai. Ya? Paham?”

“Paham, Kak!”

Sementara itu, para akamsi ditugaskan untuk berjaga di sepanjang bantaran sungai, menjadi penolong garis depan bila terjadi hal tak diinginkan. Sebagai anak-anak muda yang telah menghabiskan banyak waktu di gunung, sungai seakan-akan sudah menjadi salah satu taman bermain mereka. 

Tempat berjaga Jeje tak jauh dari Regu Rinjani yang masih mendapatkan pengarahan dari Anggara. Low guard? Jelas. Anak-anak pramuka itu belum mulai mengarungi sungai sehingga tidak ada yang perlu diawasi. Akamsi lain sibuk mengobrol satu sama lain sambil bercanda tawa. Namun, tatapan Jeje begitu fokus pada seorang gadis di sana.

Alera.

Setiap gerakan gadis itu. Jawabannya yang sesekali keluar dari bibirnya saat Anggara memberikan penjelasan. Gadis itu agak gugup, tetapi serius—tekadnya jelas. Terlepas dari seberapa anak kotanya dia, Alera begitu pemberani.

Dan itu membuatnya begitu cantik.

Jeje terkejut oleh dirinya sendiri saat pikiran itu tiba-tiba melintas di otaknya. Mau menyangkal, tetapi tatapannya selalu secara alami kembali ke gadis itu, meski dia telah mencoba mengalihkan pandangan berulang kali.

Walau kemarin dia secara tidak langsung bilang iya saat ditanya apakah benar menyukai Alera, tetapi rasanya masih ada yang mengganjal.

Apa iya ya aku sesuka itu sama Alera? Atau cuma kagum sesaat?

Pertanyaan itu terus saja hilang timbul di pikiran Jeje. Bukan satu dua kali temannya menyinggung soal keberadaan Alera—yang dari ucapan mereka seolah-olah lebih dari sekadar teman—di dekatnya.

Namun, Jeje… merasa masih ada lebih banyak hal yang perlu benar-benar ada dalam hatinya, sebelum dia bisa menjawab iya atas pertanyaan tersebut.

Atau sesungguhnya, Jeje hanya terus saja berusaha menyangkal.

Cowok itu menghela napas. Pusing, gusar, rasanya hidupnya jadi agak gonjang-ganjing. Sekarang yang jadi kegiatan sehari-harinya bukan lagi hanya membantu Bunda, sekolah, dan mendaki Gunung Welirang di saat tak kerjaan, tetapi mulai ada yang rumit.

Sampai kemudian, Jeje yang sempat melamun—rasanya dia ingin menampar dirinya sendiri karena baru sadar bahwa dia barusan lengah di tengah tugas krusial sebagai akamsi penjaga dalam Camp Pramuka Nasional—mendapati Alera tengah berenang mendekat ke titik sungai tempatnya berjaga.

Regu Rinjani ternyata sudah mulai berenang di sepanjang sungai satu per satu sejak beberapa saat lalu. Anggara saat ini sedang menghampiri regu-regu lain yang masih mendapatkan banyak teori sekaligus pemanasan dari kakak-kakak lain di sisi sungai berbeda.

Jarak antaranggota Regu Rinjani dalam berenang agak berjauhan satu sama lain. Paling depan ada Kalavi yang sudah jauh di sana, disusul Linzy beberapa meter di belakangnya, lalu Putra, Eva, Langit, Dein, Alera, kemudian Yoga yang baru mulai berengan dari titik awal mereka.

Kebetulan, Alera akan melintas tepat di Jeje beberapa saat lagi, gadis itu sudah berenang cukup dekat ke arahnya. Hanya sekilas, seluruh perhatian Jeje yang dengan mudah selalu tiba-tiba tanpa sadar fokus padanya, membuat cowok itu menyadari ada sesuatu yang mengakibatkan gadis itu terlihat kesulitan dan kelelahan cukup cepat.

“Alera, Alera,” seru cowok itu sambil menatapnya. “Kamu gerakan renangnya gak perlu terlalu cepat-cepat, nanti malah berat karena ngelawan arus. Gerakin tangan dan kakimu sesuai arus aja.”

Tatapan gadis itu fokus ke depan saat mengambil napas di tengah gerakan renang gaya katak. Namun, gerakan menjadi sedikit melambat—gadis itu benar-benar mendengarkan Jeje—dan nyatanya saran cowok itu memang top markotop. Akamsi, sampai ke detail kecil pun, sudah sangat paham.

Jeje menatapnya saat Alera berlalu tepat di depannya. Wajah cowok itu masih serius khas saat sedang bertugas berjaga sepanjang Camp Pramuka Nasional, tetapi ada sesuatu di matanya yang seakan-akan mengatakan berjuta ungkapan bangga terhadap gadis itu.

“Rasain arusnya terus. Arus berubah, kecepatan gerakan kamu ikut berubah,” tambahnya sekali lagi saat gadis itu berlalu pergi. Lagi pula berapa lama waktu yang sempat didapatkan mereka berdua untuk berdiskusi ketika gadis itu harus konsentrasi berenang di arus sungai tanpa bisa berhenti sebelum titik akhir?

Saat Alera sudah berenang cukup jauh dan memasuki area pengawasan akamsi lain, barulah Jeje mengalihkan pandangan. Kini, Yoga yang berenang mendekat ke arahnya. Di saat itu pula, Jeje menyadari keberadaan seseorang tepat di belakangnya.

Satu orang yang paling tak diinginkannya untuk muncul saat ini.

Anggara.

Lihat selengkapnya