Hearts to Venturer

Adinda Amalia
Chapter #17

16: Kelomang Tepi Sungai [Hari 8 - Malam]

Selepas melaksanakan hukuman sore tadi dan mendapatkan lebih banyak nasihat dari Anggara, Jeje dan Raka akhirnya diizinkan bubar untuk beristirahat. Mereka tak bertegur sapa saat meninggalkan Anggara di tengah area perkemahan, hanya saling lirik dengan ketus—terlihat jelas masih marah kepada satu sama lain.

Malamnya, setelah makan, Jeje dan Galang berada di pinggir sungai—berbeda dengan yang digunakan untuk latihan renang siang anak pramuka tadi. Mereka membawa alat memancing, umpan, dan segala peralatan sejenisnya.

Jeje tak begitu antusias sebenarnya, tetapi karena Galang begitu bersemangat, Jeje akhirnya menuruti ajakan temannya itu untuk memancing. Tak lama kemudian, seseorang yang lain datang, Nalendra. Dia juga membawa peralatan lengkap. “Sabar, sabar, tunggu aku join dulu kenapa sih?”

“Galang udah ready dari tadi tuh, Len,” Jeje menyahut dan di saat itu dia menyadari Raka tidak sendirian, dia membawa seseorang bersamanya.

Alera.

Galang langsung tertawa kecil menggoda. “Kamu hobi banget bawa-bawa Alera ke tempat Jeje berada tuh ngapain sih?”

Jeje langsung memalingkan wajah. Setelah apa yang dia akui pada dirinya—bahwa dia menyukai Alera—menatap gadis itu saat ini menjadi terasa lebih sulit. Pipinya panas, semoga Alera tak melihat bahwa dia salting.

Nalendra dan Gelang sama-sama melirik temannya itu, tetapi kemudian Nalendra menepis, “Mancing lebih enak rame-rame gak sih? Lagian Alera tadi gak ngapa-ngapain juga di area perkemahan, makanya aku ajak.”

“Oalah. Sini deh kalian gabung.” Galang pun tak mau mengambil risiko. Mereka berdua sama-sama masih ingat insiden saat mengendarai offroad di hutan beberapa hari lalu, ketika Jeje marah besar soal Galang yang menyinggung betapa perhatian dan act of service-nya Jeje kepada gadis itu. Dan mereka sama-sama tahu, bahwa Jeje bukanlah cowok yang pernah kelihatan mau berurusan soal cinta.

Nalendra dan Galang sama-sama menyiapkan alat pancing mereka, memasang umpan pada kail. Sementara Jeje hanya melihat, dia bilang akan membantu dan ikut ngobrol saja kali ini.

Alera duduk di dekat cowok itu. “Kenapa gak ikut mancing, Je?”

“Mager, lagian aku agak capek hari ini, pengen nyantai aja,” jawab Jeje, syukurlah saltingnya sudah merda.

Beberapa saat kemudian, seseorang yang lain menyusul. Wajah yang tak asing dari Regu Rinjani. Dia berhenti saat telah berdiri di belakang Alera, tak mengalihkan pandangan dari gadis itu. “Di sini ternyata.”

“Ke sini juga, Vi?” sahut Gilang sambil melemparkan pancingannya.

“Iya. Jagain wapinru gue dari kalian.” Saat tatapan Kalavi bergeser kepada Jeje, di situlah cowok bule itu tahu ada hal lain yang lebih spesifik, yang sesungguhnya diucapkan oleh sang pinru Rinjani.

Namun, Jeje mengabaikannya—setidaknya untuk saat ini. “Masa kami siangnya jagain selama kegiatan pramuka, tapi malamnya malah sebaliknya? Kan gak mungkin. Dikira kami serigala berbulu domba?” katanya, kemudian asbunnya tak ketinggalan, “Kalau boleh milih mah aku mau jadi ikan, biar hidup isinya cuma blubuk-blubuk doang.”

Kalavi masih skeptis—berusaha tetap serius juga karena tertawa kecil itu lawakan Jeje—atau sesungguhnya hanya sok tahu malu kelihatan kalah. “Kalian ini pada dasarnya cuma stranger, ya, buat Alera. Kami sesama anggota Regu Rinjani udah kayak keluarga, yang udah pasti bakal jagain satu sama lain.”

“Ya udah, kalau gitu besok gantiin akamsi tugas berjaga, ya. Lumayan aku bisa libur.” Jeje tertawa. “Kalau sampai ada yang kenapa-napa, bakal asik nih nonton Anggara marahin kalian.”

Kalavi sudah makin bersungut, saat Alera lebih dulu bicara, “Eh, gue gak tahu apa-apa soal mancing….” Sukses melerai kedua cowok itu, membuat dua-duanya sama-sama menatapnya, menjadi mengetahui bahwa Alera pun tak terlihat tertarik dengan kegiatan memancing para akamsi.

Jeje langsung mendapat ide lain. “Mau cari kelomang aja gak?”

“Apa tuh kelomang?” Alera menatapnya. Bahkan Kalavi yang tadi masih galak kini ikut diam, seakan-akan sama-sama penasarannya.

“Mirip kepiting, tapi kecil… gak ada capitnya kok, jadi gak serem. Terus cangkangnya cakep dan warna-warni,” jelas Jeje. “Dari kecil aku sering nyari kelomang di pinggir sungai bareng temen-temen. Ada banyak!”

Alera mengangkat alis tertarik. “Boleh, boleh!”

“Sini.”

Tatapan Kalavi langsung menjadi sengit saat melihat Jeje yang mengajak Alera bergeser ke sisi lain sungai, agak menjauh dari Galang dan Nalendra. “Gue ikut,” kata Kalavi buru-buru, agak ketus.

Jeje meliriknya sebentar saat cowok itu berjalan menyusul mereka berdua, tak mengatakan apa-apa pada Kalavi yang makin jelas menatapnya dengan tak suka. Bila yang sebelumnya masih bisa diabaikan Jeje, kali ini tidak lagi. Kalavi jelas-jelas sedang mencari gara-gara dengannya.

Persaingan secara tak langsung di antara keduanya yang akan datang secara cepat atau lambat, agaknya benar-benar telah dimulai.

“Nih, aku nemu satu.” Jeje berjongkok sebentar di tepi sungai untuk mengambil hewan mungil yang kini berada di tangannya. Kaki-kakinya banyak, agak menggelitik, tetapi dia sudah terbiasa. Tak perlu waktu lama baginya untuk menemukan satu.

Alera dan Kalavi sama-sama mendekat sedikit—anak kota yang penasaran. Berbeda dengan kepiting berwarna merah dengan capit besar yang sekilas terlihat begitu tajam, kuat, dan berbahaya, kelomang terlihat menggemaskan. Jeje benar, cangkangnya memiliki kombinasi warna putih dan totol oranye tua. Kakinya mirip kepiting, tetapi mungil tanpa capit.

“Nih, pegang bentar, aku mau bikin wadahnya.” Jeje mengulurkan hewan itu kepada Alera, tetapi gadis itu reflek mundur.

“Takut, Je….”

“Gak apa-apa, gak gigit.” Jeje tertawa kecil.

“Taruh aja, Je!” kata Kalavi tegas, walau Jeje tahu cowok itu juga sama-sama akan ketakutan bila disuruh memegang kelomang langsung menggunakan tangan. Tak mau memalu-malukan si pinru Regu Rinjani, Jeje akhirnya meletakkan kelomang kembali ke pinggiran sungai.

Cowok itu pergi sebentar untuk mengambil daun di pohon terdekat yang sudah agak layu, juga sebuah ranting kecil yang sudah kering dan jatuh di tanah. Dia cekatan melipat-lipat ujung daun, kemudian ditusuk menggunakan potongan ranting agar membentuk sebuah wadah kotak.

“Eh, Jeje, Jeje, Jeje!” Alera setengah panik juga setengah geli dan ketakutan. “Kelomangnya mau pergi….”

Lihat selengkapnya