Hearts to Venturer

Adinda Amalia
Chapter #18

17: EKSPRESIF [Hari 9 - Siang]

Di tengah perjalanan, Alera beberapa kali hampir tersandung. Kalavi yang berjalan di depannya melangkah terlalu cepat. Tiba-tiba, cowok itu berhenti mendadak, dan Alera refleks meraih lengannya—nyaris seperti memeluknya. Hanya sepersekian detik, sebelum buru-buru melepaskan.

Kalavi pura-pura sibuk menyibak ranting yang menghalangi jalan, membuat Alera mengira dia tidak sadar.

“Meluk orang itu ada aturannya, tahu?” ucapnya akhirnya, menatap Alera begitu ranting itu disingkirkan.

“Ya maaf, lo juga jalannya cepat banget. Mana gue tahu tiba-tiba nabrak lo.”

“Yang nyuruh lo jalan di belakang tuh siapa? Kalau bisa sejajar, kenapa harus di belakang?”

Alera mendengus gemas. “Kalau bisa akur, kenapa harus ribut?”

Kalavi menyentil ujung hidung Alera. “Gue rasa, gue udah kecanduan ribut sama lo.”

“Lo pasti sering banget bikin mama-papa lo naik tensi, ya?”

Kalavi yang semula banyak bicara, tiba-tiba diam. Ekspresinya berubah, dingin. Alera melirik, menggigit bibir. “Ehem… kayaknya gue salah ngomong, ya?”

Kalavi hanya melirik sekilas lalu melangkah lagi. Alera melongo—segampang itu cowok ini berubah suasana hati? Ia buru-buru menyamai langkahnya sampai di depan tenda.

Alera yang ikut kesal karena didiamkan, mendengus. “Sana ke tenda lo!”

“Oh, nggak ada terima kasihnya, nih?” Kalavi mengangkat alis.

“Emang harus banget?” Alera menoleh sekilas, lalu siap masuk ke dalam. Tapi langkahnya terhenti saat Kalavi nyeletuk lagi, nada suaranya dingin.

“Emang Cuma Jeje yang pantas dapat terima kasih dari lo, ya?”

Alera mengangkat alis, langsung balik badan. “Ya iya, karena dia bantuin gue. Lebih tepatnya nyelamatin gue. Di saat lo Cuma bisa liatin gue kebawa arus!”

Akhirnya, unek-unek yang selama ini ditahan keluar juga. Apalagi beberapa menit yang lalu, cowok itu mendiamkannya.

“Oh, jadi ada yang baper diselamatin akamsi?” tukas Kalavi sinis.

Alera naik pitam. Kalavi memang punya bakat bikin darahnya mendidih. “Lo kenapa sih tiba-tiba bahas itu? Harusnya lo senang gue selamat, bukannya nyinyir! Lo tuh nggak tanggung jawab!”

Tatapan Alera menusuk, matanya menyala-nyala. “Lo aneh!” semprotnya sebelum masuk tenda.

Di dalam, Linzy, Eva, dan Dein langsung berpura-pura sibuk, padahal jelas-jelas tadi mengintip sambil pakai masker wajah.

“Kalian ngapain?” seru Alera.

“Ngintip,” jawab Eva santai, sebelum Dein mencubitnya. “Lo sama Kalavi kenapa sih, ribut mulu?”

“Tau tuh manusia, kumat! Aneh!” gerutu Alera.

“Aneh, tapi ganteng,” celetuk Linzy nyengir.

Alera Cuma memutar bola matanya malas.

Di luar, Kalavi menendang ranting kecil yang menghalangi jalannya. “Kenapa sih gue bisa kayak gini?” desisnya, frustrasi.

Ia menyisir rambutnya kasar. Rasa marah, kecewa, kesal—selalu muncul setiap mereka berdua bareng. Kalimat Alera waktu itu kembali terngiang, ‘Kalau gitu, kasih tahu gue caranya biar bisa masuk ke hidup lo.’

Sial. Ternyata gue yang baper. Gila! umpatnya dalam hati.

***

Alera mengetuk pintu WC dengan gayung. Hampir tiga puluh menit orang di dalam itu tak keluar juga. Alera khawatir—jangan-jangan orangnya pingsan.

“Halo? Siapa di dalam? Aman, kan?” suaranya sopan tapi cukup keras.

Tak lama, terdengar suara keran air. Alera mengembuskan napas lega. Mungkin lagi diare kali…

Begitu pintu terbuka, ternyata Kalavi. Cowok itu senyum jahil, lewat begitu saja, tapi ujung bajunya keburu ditarik Alera. Mereka pun saling berhadapan, tatapan mereka terkunci.

“Lo sengaja ya, lama-lama di dalam karena tau gue yang lagi nunggu? Ayok ngaku!?” Alera langsung ngegas, tak gentar menatap mata elang Kalavi.

“Kalau iya, kenapa?” Kalavi santai, mau pergi, tapi lagi-lagi Alera narik bajunya.

“Kenapa? Mau banget gue tatap, ya!?” Kalavi malah tertawa mengejek. Alera makin panas.

“Jahat banget tahu, nggak!” Alera spontan menginjak kaki Kalavi dan menutup pintu dengan kencang.

Lihat selengkapnya