Hearts to Venturer

Adinda Amalia
Chapter #19

18: Semua Gara-gara Kalavi [Hari 9 - Malam]

Langit dan Putra tiba-tiba mencomot tempe goreng, sementara Yoga dan Kalavi duduk di samping Eva yang sibuk menata piring di meja bundar kecil mereka.

“Kalavi, tunggu bentar, ya. Gue buatin mie,” celetuk Alera mendadak. Dein yang duduk di sebelahnya langsung nyikut pelan lengan Alera. Tumben banget, ini anak.

Linzy ikut nimbrung, “Atau mau gue ceplokin telur aja?”

Putra melirik dua cewek itu, lalu pura-pura mencekik Kalavi. “Enak banget hidup lo, Ketua!”

“Nggak usah repot, gue makan tahu aja. Aman,” jawab Kalavi santai.

Linzy langsung nyodorin piring isi nasi dan tahu. “Tuh, makan, Vi.”

“Le, boleh buatin gue mie goreng juga?” pinta Langit dengan wajah memelas.

“Nggak ada syukur ni anak,” celetuk Kalavi. “Makan aja yang ada.”

Ketiga cowok itu langsung melotot ke arah Kalavi.

“Iya udah, ayo makan,” ucap Yoga sambil mulai memimpin doa. “Amin.”

Mereka makan dengan khidmat. Sesekali Langit mencuri tahu di piring Putra sampai mereka ribut kecil. Semua ketawa, kecuali Kalavi. Alera sempat melirik cowok itu—jelas dia makannya kayak dipaksa. Dia tahu Kalavi nggak biasa dengan menu begini. Tapi tetap aja, piringnya ludes.

Tiba-tiba Putra bersendawa, bikin Linzy langsung pasang wajah horor. “Put! Ih, nggak sopan banget!”

“Nggak sengaja, sumpah!” balas Putra cepat-cepat.

Kalavi Cuma mendengus lalu nyender di dekat rak sepatu. Perutnya mulai memberikan kode, tangannya refleks megang perut.

Begitu makan selesai, para cewek mulai membereskan sisa makanan.

Rasaa itu makin menyebar ke seluruh badannya. Kalavi memberi isyarat pada tiga temannya. Tanpa banyak tanya, mereka langsung paham.

***

“Vi? Yang bener aja lo! Ke sungai?!” teriak Langit, nyaris kepleset kalau aja Putra dan Yoga nggak sempat narik dia.

“Tuh anak kenapa sih?” tanya Putra heran.

“Ikutin aja dulu!” sahut Yoga, langsung lari ngejar Kalavi.

Kalavi udah jongkok di pinggir sungai, badannya sedikit membungkuk. Wajahnya pucat, keringat netes di pelipis padahal udara di situ dinginnya nyelekit. Suara aliran air tenang, tapi perutnya kayak lagi perang dunia.

“Huek! Huek! Sialan!” serunya, memuntahkan isi perut.

Lihat selengkapnya