“Len, apaan sih? Seharian ini kamu mepet-mepetin aku ke Alera ke mulu?” kata Jeje saat mereka berdua sampai di rumahnya. Bukan marah, lebih ke malu-malu walau berusaha ditutupi.
“Maksudnya?” kata Alera.
“Tadi pagi tuh Jeje malu-malu mau nonton kamu, dia nonton dari belakang. Terus, aku ajak dia deh buat nonton lebih deket, bareng Galang sama Raka. Tadi Jeje gandeng tangan kamu juga karena kalah batu, gunting, kertas sama aku. Yang kalah hukumannya dikasih tantangan, ya udah aku tantang dia buat gandeng tangan kamu, lagian dia juga pasti aslinya seneng.”
Jeje memutar bola mata malas. “Gaya-gayaan jadi mak comblang kamu, Len.”
“Eh, by the way, gue ke sini mau minta tolong, Je!” Alera kembali serius.
“Minta tolong apa?” Wajah Jeje yang langsung excited, sangat menjelaskan bahwa dia bukan benar-benar kesal akan Nalendra yang terus saja mendekat-dekatnya mereka berdua. Prioritasnya sesungguhnya masih sama: Alera.
“Kalavi… sama anak-anak cowok yang lain hilang.”
“Hilang?!” Jeje langsung panik. “Telepon Kak Anggara sekarang—”
“Enggak, bukan gitu,” Alera hampir ikut panik. “Mereka gak tahu ke mana, keknya emang sengaja menjauh dari anak cewek-cewek.”
Jeje langsung lebih tenang, tetapi mendengar nama Kalavi disebutkan tak membuatnya senang sama sekali. “Ya udah, bentar, aku pamit Bunda dulu.”
“Cie anak mami…,” Nalendra menggodanya seperti biasa—dalam artian candaan. “Alera gak mau nyapa calon mertua sekalian?”
“Hah? Maksudnya?!” kata Jeje dan Alera bersamaan.
Nalendra langsung cekikikan.
Jeje geleng-geleng, “Orang aneh kamu, Len.”
Cowok bule itu masuk ke dalam rumah. Berselang sebentar, dia muncul lagi bersama bundanya. Wanita yang masih terlihat begitu muda, cantik, dan lembut. Nalendra menyapa singkat, Alera juga meski sambil malu-malu. Untungnya, Nalendra tak membahas lagi soal calon mertua. “Jantzen pamit dulu, Bunda.”
“Pinjam Jeje dulu, ya, Tante,” kata Nalendra.
“Permisi, Tante,” kata Alera.
“Iya. Hati-hati, ya, Nak.” Wanita itu tersenyum sambil mengamati mereka pergi.
Baru beberapa meter dari rumah, Jeje langsung melanjutkan obrolan dengan meminta Alera untuk menjelaskan apa yang terjadi sebelum anak-anak cowok pergi. Gadis itu kemudian menceritakan, tentang makan malam dan berbagai hal yang barusan terjadi, meski entah ada hubungannya atau tidak.
Setelah mendengarnya, Jeje berpikir sesaat, lalu langsung punya beberapa tebakan. “Mereka bukan orang sini, jadi gak mungkin berani pergi ke tempat yang belum pernah dikunjungi mereka sendiri.”
Nalendra menatap temannya. “Kamu pernah ajak mereka ke mana aja, Je?”
“Danau sama sungai buat mancing.”
“Danau agak jauh sih,” sahut Nalendra.
Jeje langsung bisa menyimpulkan, “Sungai berarti.”
Dan, benar saja, mereka langsung menemukan cowok-cowok itu di sana. “Kalau mancing pake pancingan, bukan pake tangan, Mas,” kata Jeje, memulai dengan banyolan konyol. “Dicariin wapinru nih.”
Jeje dan Kalavi langsung memasang muka saling bersaing begitu menatap satu sama lain, terutama bila membawa-bawa soal Alera. Kalavi cuek seperti biasa. Sementara Jeje, walau sambil tersenyum, tetapi senyumannya kali ini berbeda—seperti mengejek.
“Kalian ngapain di sini?” tanya Alera.
“Diam kalian, jangan jawab,” sahut Kalavi tegas, kepada para pasukannya—Yoga, Langit, dan Putra.
Alera memasang wajah serius. “Jawab,” katanya, berusaha terdengar tegas pula.
Menatap dua orang itu bergantian, Jeje kemudian mengangkat alis. “Pinru musuh wapinru nih.” Agaknya, hanya dia yang terhibur, karena Yoga, Langit, dan Putra tampak begitu bingung dan ragu-ragu akan kepada siapa mereka harus menurut.
“Lo sendiri ngapain ke sini, Je?” sahut Kalavi galak tiba-tiba, sekaligus mengalihkan pembicaraan sebelum ketiga cowok Regu Rinjani itu benar-benar membeberkan apa yang barusan terjadi.
“Karena Alera minta tolong ke aku buat nyariin kalian,” kata Jeje dengan enteng. “Aku berguna, gak kayak pinru yang malah bikin khawatir wakilnya kayak gini.”
Kalavi terpojok seketika, tak mampu membela diri untuk sesaat. Dia menghela napas kesal, kemudian melirik belakang pada Yoga, Langit, dan Putra. “Kalian balik duluan ke tenda aja.”
Menyadari ke mana arah pembicaraan mereka saat ini, Jeje menatap Nalendra pula dan temannya itu sudah tahu apa yang harus dilakukan. Nalendra mempercayakan sisanya kepada Jeje, sedangkan dia ikut pergi dari sana.
Saat ini, tersisa Jeje, Kalavi, dan Alera.
“Sekarang ngerasa bersalah karena bikin Alera khawatir?” sindir Jeje.
Kalavi hanya diam, tetapi wajahnya yang makin kesal itu seakan-akan mengatakan iya. Dan itu sudah cukup untuk membuat Jeje merasa puas. Dia langsung menambahkan, “Alera udah cerita ke aku tentang makan malam kalian. Ada sesuatu sama itu, ada sesuatu juga sama obrolan kalian berdua siang tadi. Bener, tho?48”
Cara cowok bule itu mengatakan semuanya dengan begitu santai dan percaya diri, hanya membuat Kalavi terlihat makin kesal padanya. Namun, mau bagaimana lagi, Jeje benar-benar tahu cara untuk memojokannya.
Kalavi akhirnya bicara juga, meski sambil menggerutu, “Iya, iya, tadi gue maksain buat makan masakan seadanya yang dibuat temen-temen malam ini, tapi nyatanya… gue emang gak bisa. Makanya gue lari ke sini.”
Jeje tertawa, betapa puas cowok itu melihat Kalavi akhirnya membeberkan semua dengan mulutnya—alias mempermalukan diri sendiri. Walau dia sebenarnya sudah menebak dengan cukup yakin, tetapi mendengar langsung dari mulut di pinru Rinjani benar-benar menghibur.