Hunting Expedition atau Ekspedisi Berburu. Itulah kegiatan anak-anak pramuka malam ini, sebuah permainan yang akan menguji keberanian, ketelitian, dan ketangkasan. Misi mereka adalah menemukan slayer-slayer pramuka yang tersembunyi di area hutan yang cukup luas—tentu saja batas areanya dijaga oleh akamsi. Ada slayer yang diikat di pohon tinggi, tertutup di balik batu, mengapung di atas kapal kecil di tengah danau, dan sebagainya.
Dalam permainan ini, semua anak akan berpencar satu-satu. “Ini buat melatih kemampuan tiap individu. Supaya kalian masing-masing benar-benar terlatih, bukan dikit-dikit mengandalkan pinru!” tegas Anggara dalam briefing sebelum permainan dimulai.
Meski demikian, di awal, mereka diizinkan untuk menyusun strategi bersama anggota regu, serta saling memberi saran dan semangat kepada satu sama lain, agar tak ada yang ketakutan atau khawatir berlebih. Kemudian, di akhir permainan nanti, slayer yang terkumpul akan dijadikan satu dengan regu masing-masing untuk menentukan total skor per regu.
“Semuanya, silakan berkumpul dengan regu masing-masing terlebih dahulu!”
Jeje berkumpul bersama beberapa akamsi lain di tepian area perkemahan. Temannya sibuk mengobrol sambil bercanda tawa ringan, tetapi tatapan Jeje sejak tadi tidak beralih dari anak-anak pramuka di depan tenda Regu Rinjani. Samar-samar, dia bisa mendengar pembicaraan mereka.
“Pertama, utamakan keselamatan kalian,” Kalavi terdengar tegas mengarahkan anggotanya, “keduanya, kumpulin slayer sebanyak mungkin. Kalau ketemu satu tapi sulit buat diambil, langsung skip aja, jangan buang-buang waktu.”
“Intinya fokus, ya, teman-teman,” Yoga menambahkan.
“Serem banget gak sih…? Kenapa harus sendiri-sendiri sih masuk hutannya? Kalau ada hantu gimana? Kalau gue pingsan gimana….” Linzy mendekat pada Kalavi, nyaris menyandar pada lengan cowok itu, tetapi si pinru yang bergeming.
“Gak ada. Justru kalau mikir kayak gitu kita jadi gak bisa fokus ke misi,” katanya, tetap tegas khas bagaimana seorang pinru seharusnya bersikap. Meski demikian, Linzy masih saja menempel padanya.
“Pasti nanti gelap banget….”
Mengamati mereka, tatapan Jeje bergeser kepada Alera. Gadis itu tampak tak nyaman. Linzy jelas-jelas cari perhatian kepada Kalavi dengan bergaya sok ketakutan seperti itu. Meski Kalavi tak begitu menggubrisnya, tetapi mata Alera tak bisa berbohong bahwa dia tetap tak menyukai hal itu.
Tanpa berpikir panjang, Jeje beranjak dari posisinya semula. Dia mengambil jalan memutar sedikit supaya bisa menghampiri gadis itu dari belakang. Mendekatkan wajah sedikit, Jeje nyaris berbisik di telinganya. “Awas, lho, nanti ada yang ngikutin dari belakang.”
Alera melompat kecil karena kaget, kemudian langsung berbalik menatap cowok itu. “Je! Jangan nakut-nakutin!”
Yang lain jadi ikut menatap si akamsi yang datang-datang bukannya memberi support, malah sebaliknya. “Kalau akamsi udah ngomong gitu… jangan-jangan emang beneran nih?” sahut Putra.
“Hayo… nanti pas ngambil slayer, tiba-tiba ada yang ciluk ba!”
“Jeje!” Alera mengomel sekali lagi.
Cowok itu tertawa kencang. Sementara Alera mendorongnya pelan dengan kesal—dalam artian candaan. Namun, Jeje masih saja terkekeh, seakan-akan justru menikmati reaksi gadis itu.
Terlepas dari itu, ada hal yang mungkin tak mereka sadar. Intervensi sederhana dari Jeje, benar-benar membuat Linzy berhenti menggatal ke Kalavi. Bukan hanya itu, cowok itu juga mendapatkan perhatian Alera.
Dua strike sekaligus.
Jeje masih ingin menggodanya, tetapi suara Anggara dari speaker menghentikannya, memanggil para akamsi untuk berkumpul. Terpaksa, Jeje mengurungkan niat. “Yah… kalau gitu aku mau pergi dulu, udah dipanggil Kak Anggara. Good luck, semuanya. Hati-hati, ya.” Dia menatap Alera sedikit lebih lama sebelum menuju tengah lapangan.
Akamsi diberi briefing singkat oleh Anggara, kemudian langsung berpencar untuk berjaga di dalam hutan—memang lebih awal sebelum permainan resmi dimulai supaya memiliki waktu untuk bersiap-siap di posisi masing-masing.
Sebagian dari akamsi ada yang stay berjaga di batas ujung area hutan yang digunakan dalam permainan ini. Artinya, mereka hanya berdiri mengawasi, tanpa berpindah ke mana pun. Sementara, sebagian lain berjaga sambil berkeliling—termasuk Jeje.
Tak lama kemudian, peluit kencang berbunyi, menggema seluas hutan kaki Gunung Welirang. Burung-burung langsung berhamburan terbang ke segala arah, sambil memekik khas, dan menyisakan bunyi-bunyi gesekan ranting dan dedaunan saat kaki mereka melompat dari pepohonan.
Permainan telah dimulai.
Semua anak pramuka berpencar. Hutan begitu sunyi. Rasanya seperti kegelapan perlahan-lahan menelan mereka: pohon-pohon, sekeliling yang entah mengapa terasa kosong, tanah bumi, bahkan anak-anak pramuka itu sendiri. Bulan malam yang sedang purnama mengawasi seperti mata lebar yang tak pernah berpaling.
Welirang seperti sedang merentangkan jubah hitam lebar yang sebentar lagi bisa saja menyembunyikan segalanya di baliknya.
“Dor!”
Alera melonjak kaget sambil berteriak. Gadis itu nyaris saja jantungan, bila dia tidak berbalik dan menyadari bahwa yang saat ini berada di belakangnya adalah si cowok bule tengil. “Astaga, Jeje! Rese banget sih… gue aduin ke Bunda lho, ya!”
Jeje cemberut. “Jangan ih… kan aku bukan mau gangguin.”
Alera mengerutkan alis skeptis. “Terus ngapain?”
Saat briefing tadi, Jeje sebenarnya mendapatkan tugas berjaga di pinggiran yang mengharuskan untuk berdiam diri tanpa boleh pergi ke mana pun, tetapi dia nego kepada Anggara dengan debat singkat hingga akhirnya diizinkan untuk tukar dengan Galang. Temannya itu, yang sudah memahami tujuan tersirat Jeje—agar bisa menemui Alera—langsung menyetujui untuk tukar. Tentu saja, meski demikian, tatapan Anggara padanya menjadi sinis seolah-olah berkata awas kalau sampai berulah lagi!
“Aku temenin,” kata Jeje, caranya bicara sudah seperti anak kecil yang bertemu seseorang favoritnya.
Alera sempat agak terkejut, tetapi dia kemudian setuju.
Jeje mengekor ke mana pun gadis itu pergi. Ke depan, ikut ke depan. Belok kanan, ikut ke kanan. Belok kiri, ikut ke kiri. Tanpa mengatakan apa pun dan tak berpaling sama sekali. Sekilas terlihat begitu menggemaskan.
Dia sambil mengawasi sekitar dari bahaya. Apalagi di malam hari dengan pandangan menyempit akibat gelapnya malam. Cahaya hanya berasal dari bulan dan sebuah senter yang dibawa oleh masing-masing dari mereka—itu pun nyaris tak membantu sama sekali. Hewan buas bisa menyelinap dari mana pun, tanah licin dekat batu keras bisa saja ada di berbagai titik.
Jeje menjalankan tugasnya dengan sesuai—setidaknya pada dasarnya demikian karena dia memang sudah seharusnya berkeliling. Namun, bukannya berkeliling untuk mengawasi para anak pramuka di sekitar, dia berkelilingnya mengikuti Alera.
Satu satu slayer terlewat saat Alera melintas awalnya masih bisa diabaikan oleh Jeje. Namun, lama-lama dia tak tahan. “Itu ada, Le.”
“Oh, iya, gue gak liat tadi.”
Mungkin terkesan seperti hanya membantu sedikit. Namun, Jeje tak selesai sampai di situ. Berselang waktu kemudian, mereka melihat sebuah slayer diikat di atas pohon. Tanpa mengatakan apa pun, cowok itu tanggap untuk memanjat. Kaki dan tangannya bergerak linah, tak ada keraguan sama sekali. Syukurlah dia benar-benar terlihat keren dan bukan terlihat seperti monyet.
Alera seperti hendak menghentikan cowok itu, tetapi kalimatnya tertahan. Toh, Jeje juga sudah terlanjur memanjat. Akhirnya, dia berkata pelan, “Hati-hati, lho, Je….”
Duduk di sebuah cabang pohon, Jeje melepaskan tangan yang semula berpegangan di cabang pohon yang sama, supaya bisa melepaskan ikatan slayer. Semua itu dengan begitu tenang. “Aman,” kata Jeje santai. Setelah berhasil mendapatkan slayer dengan mulus, dia turun, lalu menyerahkannya kepada Alera.
Alera menerimanya, tangan mereka bersentuhan sedikit. Gadis itu tersenyum. “Makasih, Jeje.”
Lama-kelamaan, bahkan rasanya seperti Jeje yang bermain, sedangkan Alera hanya menemaninya. Jeje yang dengan lebih cepat menemukan slayer-slayer yang tersebar di area hutan ini—mata akamsi memang jeli sekali di gunung yang sudah seperti taman bermain bagi mereka. Tentu saja, dia mengambilkan slayer tersebut untuk Alera.