Hearts to Venturer

Adinda Amalia
Chapter #22

21: Mendadak Jadi Manis [Hari 11 - Siang]

Yoga mengucek matanya. Kalavi hilang ditempat, padahal Langit dan Putra masih terkapar saling tindih dalam tidur pulas. Dari belakang tenda terdengar suara duk-duk seperti ada yang lagi memukul sesuatu. Yoga melirik jam weker kecil di atas tasnya, setengah empat pagi.

Dengan rasa penasaran yang belum hilang dari kantuk, Yoga keluar. Dia melangkah ke belakang tenda—dan nyaris terbahak sekaligus kaget.

“Istigfar, Vi!” seru Yoga panik sambil menahan tangan Kalavi. “Vi, serius lo? Pantesan bantal guling gue hilang juga!”

Pemandangan di depannya absurd, bantal gulingnya digantung di antara dua tongkat kayu yang diikat tali pondang, jadi samsak tinju dadakan. Kalavi berdiri di depannya, keringat dingin di pelipis, tangan dililit kain seadanya.

Kalavi berhenti, membuka lilitan kain itu, dan mendesah sambil nyengir.

“Ketawa aja, Vi! Udah terlanjur juga bantal gue lo jadiin samsak! Gue ikhlas, sumpah.” Yoga pasang ekspresi sedih, tapi matanya jelas menyimpan tawa.

Kalavi ikut ketawa tipis. “Umur baru segini, masalahnya udah kayak orang tiga puluh tahun.”

“Hem, namanya juga manusia,” balas Yoga santai. “Lo masih emosi karena ulah Jeje, kan?”

“Menurut lo?” Kalavi melirik samsak guling itu dengan sorot mata capek. “Gue respect banget sama dia. Tapi makin ke sini, dia Cuma mikirin satu orang—Alera.”

Yoga mengangkat tangannya, ikut meninju samsak. “Jadi intinya… cewek itu lagi penyebabnya. Cemburu lo, ya?”

“Gue nggak cemburu, Ga!” sahut Kalavi cepat, matanya menyipit. “Ini soal regu kita. Lo tahu sendiri gimana ngamuknya Kak Anggara. Gue juga ngerasa gagal jadi pemimpin.”

Yoga menepuk bahu Kalavi, suaranya lebih tenang. “Gue ngerti maksud lo. Lo kecewa sama Jeje, tapi jangan lupa jasa dia juga. Dan, ya… seperti yang lo bilang, dia emang ngejagain Alera lebih.”

Kalavi menghela napas, sudut bibirnya terangkat setengah. “Rumitnya lagi… dia belum confess.” Kalavi meraih guling Yoga, mengangkatnya begitu saja sambil berlalu menuju tenda.

“Yakin lo nggak cemburu?” goda Yoga.

Kalavi berhenti di ambang pintu tenda, menoleh sebentar. “Cemburu itu buat orang yang saling sayang, Ga. Sedangkan Alera… nggak sayang sama gue.”

Dug.

Yoga senyum lebar, antara kasihan sama pengen ketawa lagi.

***

Kalavi mondar-mandir di depan tenda cewek, matanya gelisah mencari Alera buat diajak briefing sama panitia. Sejak senam pagi selesai, cewek itu nggak kelihatan. Yang ada Cuma Dein dan Eva.

“Dein, lo lihat Alera?” suaranya terdengar tegang.

“Tadi dia bilang mau ke tebing,” jawab Dein santai.

“Terus lo biarin dia sendirian?”

“Dia nggak mau gue temenin, Vi.”

Kalavi mendengus, rahangnya mengeras. Tanpa banyak tanya, dia langsung melangkah cepat.

Di tepi tebing, Alera berdiri dengan kedua tangan terentang, wajahnya kosong diterpa angin. Sekilas, punggungnya terlihat rapuh.

Darah Kalavi langsung mendidih. “Alera!” serunya. Ia berlari, menarik tangan cewek itu agak kasar. Alera kaget, tubuhnya ikut terseret, mereka berdua terjatuh di tanah berumput.

“Auw!” Alera meringis, tangannya refleks menahan.

“Lo gila!?” bentak Kalavi, napasnya memburu. “Kalau lo kepleset, terus jatuh!?”

Alera mendongak, matanya sudah berkaca-kaca. “Kenapa? Bukannya lo senang kalau gue hilang? Nggak ada lagi yang bikin lo ribet tiap hari!”

Air matanya jatuh begitu saja.

“Gue nyariin lo setengah mati, malah dimaki?” suara Kalavi meninggi.

“Gue nggak minta lo nyariin! Gue Cuma pengen sendiri, Vi!” Alera balas membentak, suaranya pecah.

“Oh… gue tahu!” Kalavi mendengus sinis. “Lo lagi nunggu Jeje, ya? Bukan gue yang lo harap datang.”

Alera menggertakkan giginya. “Berhenti, Vi! Jangan bawa-bawa dia!” bahunya bergetar. “Gue Cuma pengen nenangin diri… kenapa sih lo nggak pernah biarin gue tenang?”

Kalavi ikut jongkok, tangannya sempat terulur, tapi ditepis kasar.

“Lo pikir gue bisa kuat terus?” suara Alera bergetar hebat. “Gue capek, Vi. Dari dulu, semua orang Cuma minta gue tegar, senyum, jadi andalan. Tapi nggak pernah ada yang kasih gue izin buat lemah. Sekali aja.”

Kalavi tercekat. Kata-kata itu seperti tamparan yang nggak dia sangka.

“Gue Cuma nggak mau lo kenapa-napa, Le…” ucapnya lebih pelan.

“Atau lo Cuma pengen gue nurut sama lo!?” Alera menatapnya dengan mata basah, rambutnya berantakan, jemarinya gemetar. “Hidup gue itu punya gue, Vi. Bukan buat lo atur terus? Lo marah terus!?”

Untuk pertama kalinya, Kalavi tak punya banyak kata. Tapi tangannya tetap meraih bahu Alera, menyibak anak rambut dari wajahnya. Air mata sebanyak itu bikin dadanya nyesek sendiri.

“Pergi! Gue mohon…” jerit Alera, kedua tangannya menutupi wajah. Tangisnya pecah, nyaris sesenggukan.

Kalavi akhirnya menariknya ke pelukan. “Udah… jangan gini, Le. Gue minta maaf.”

Lihat selengkapnya