Hearts to Venturer

Adinda Amalia
Chapter #23

22: Suara Hati Langit [Hari 11 - Malam]

Api unggun memercik riang di tengah lapangan, memantulkan cahaya hangat ke wajah-wajah lelah yang perlahan mengembang senyum. Udara malam terasa hidup, penuh tawa dan obrolan yang bersahutan.

“Enak kali kalau ada martabak,” celetuk Langit sembari menyenggol bahu Putra.

“Martabak dari mana? Adanya tempe goreng buatan Dein!” Putra ketawa terbahak.

“Bersyukur dong, masih gue masakin juga. Iya nggak, Va?” Dein mendengus. Eva mengangguk sambil tersenyum melihat keributan kecil mereka.

“Alera mana?” Kalavi muncul sambil membawa gitar.

“Gue di sini.” Alera melangkah keluar dari kerumunan. Seketika semua mata tertuju padanya. Malam ini ia tampak berbeda—makeup tipis mempertegas wajahnya, bibir yang biasanya pucat kini berwarna pink Cherry.

“Kenapa pada ngeliatin gue gitu sih?” gumam Alera, kikuk. Kalavi sempat tertegun sejenak.

“Cantik banget, Le!” celetuk Dein.

“Iya, mirip Asiyah Aqila!” tambah Eva.

Linzy melirik jam tangannya. “Udah, siap-siap deh kalian.” Nada suaranya datar. Dein sempat melirik heran.

“Ayo, Le,” ajak Kalavi. Alera mengangguk dan mengikuti langkahnya.

Regu demi regu tampil menghibur. Saat giliran Regu Rinjani tiba, sorakan langsung pecah.

“Wuuuh! Cieee, Kalavi–Alera!” teriak seseorang dari penonton.

Sorakan makin ramai saat Kalavi menarik kursi untuk Alera. Gadis itu tersenyum kikuk—kalau menurutnya, Kalavi jauh lebih baik kalau jutek, bukan manis begini.

“Jangan grogi. Gue udah ganteng, masa nggak bisa lo imbangin?” Kalavi sok percaya diri sambil bercanda.

Alera spontan mencubit lengannya. “Pede banget sih, Pak!”

Di bawah panggung, Linzy menahan rasa panas dan cemburu mulai hadir. Sementara Jeje duduk dekat panitia, pura-pura santai tapi matanya terus melirik ke panggung, sulit menahan diri.

“Je, tangan Kalavi yang kamu pelintirin, bukan tangan aku!” lirih Nalendra saat jarinya mendadak kesakitan.

Jeje menatap, baru sadar. Astagfirullah... Ia Cuma bisa menahan malu.

“Malu, Je. Keliatan banget kecintaannya,” bisik Nalendra sambil cekikikan.

Jeje memilih diam. Pandangannya tetap terpaku pada Alera.

Petikan gitar Kalavi mulai mengalun lembut. Alera menyusul dengan suara bening yang membuat malam sejenak hening. Sesekali tatapan mereka bertemu—singkat, tapi cukup bikin penonton terbawa suasana.

“Tenda terbongkar, sayonara cinta...” lagu berhenti. Tepuk tangan menggema. Kalavi memberi anggukan kecil pada Alera sebelum mereka turun.

Saat menuruni anak tangga, Kalavi menahan lengan Alera yang hampir terpeleset.

“Hati-hati, ” bisiknya ringan.

Linzy sudah menunggu dengan senyum yang terasa dingin. “Lumayan suaranya,” katanya datar. “Cuma... kalau sama gaya mainnya Kalavi, kok rasanya nggak nyatu, ya?”

Alera tersenyum tipis. “Oh?”

Chemistry-nya kurang dapet, Le,” tambah Linzy.

“Gue emang nggak biasa naik panggung, Linz,” jawab Alera, berusaha tenang.

“Iya, Cuma kayak... nggak cocok aja gitu. Kalavi kan terlalu menonjol.” Linzy tertawa kecil yang terdengar dipaksakan.

Lihat selengkapnya