“Bener, kan, kamu suka sama Alera? Dari dulu disuruh ngaku susah amat.” Nalendra menatap Jeje. Galang juga ada bersama mereka. Para akamsi berkumpul sendiri-sendiri di berbagai titik di sekitar area perkemahan, asik mengobrol atau bercanda karena kegiatan Camp Pramuka Nasional pagi ini masih belum dimulai.
Raka juga hadir seperti biasa, tetapi agak jauh dari tempat Jeje berada. Pasalnya, mereka berdua masih saja menatap sinis satu sama lain alias belum berbaikan sejak insiden di sungai saat anak-anak pramuka latihan renang hari lalu.
“Ngapain sih kamu ngehindar dari Alera lagi?” kata Galang. “Kemarin udah bener deket. Kalau masalah dihukum Anggara kan emang karena kelakuan kamu. Tapi gak perlu menjauh lagi gitu lah, kan kamu juga gak pernah bermaksud jahat.”
Jeje menatap sembarang arah. “Alera sendiri yang nyuruh.”
“Gak segitunya juga kali, Je, maksud dia tuh. Yakin deh, Alera waktu itu ngomong gitu tuh pasti karena capek aja,” Nalendra menambahi. “Dia lho baik ke kamu. Dia pasti udah maafin kamu. Percoyo karo aku talah.60”
“Aku sing ora nyepuro awakku dewe,61” kata Jeje tegas.
“Awakmu lak ngene terus sing repot awakmu dewe, lho, Je. Awak dewe jek pirang-pirang dino tugas jogo cah pramuka. Bayangno awakmu kesekso terus selama iku.62” Galang benar-benar keheranan.
“Je, dengerin,” Nalendra menekankan ucapannya. “Hari ini tuh kegiatannya naik turun tebing, kita jagain di bawah. Kak Anggara tuh udah pasti nyuruh kamu jagain Regu Rinjani. Regu yang kita jagain tuh selama ini hampir gak pernah ganti. Rasakno awakmu sedino mendelengi Alera tok. Noleh sitik disentak Mas Anggara, iyo ora?63”
“Je, ngene64, lho,” tambah Galang. “Kita tuh bukan apa-apa. Kita cuma berusaha bantuin kamu biar gak ribet sendiri. Sepurane tenan iki65, Je. Kami tuh juga ngerti kenapa kamu kayak gini. Kami juga gak maksa, tapi pikirin. Mikiro! Emange awakmu ki ora genah, koyok bapakmu ngunu wi? Awakmu ki lho genah, Je. Awak dewe sing bareng ket cilik, aku karo Nalendra ki ngerti. Bundamu deloken, kurang bangga opo karo awakmu? Sing mbok wedeni ki durung mesti kedaden, Je. Awakmu yo awakmu, bapakmu yo bapakmu. Ojo dumeh bapakmu ra genah, terus mbok kiro awakmu yo bakal dadi ra genah. Gak enek ngunu wi.66”
Jeje malah makin kesal bercampur risih.“Aber dennoch, ich ertrage es nicht, ihr wehzutun.67” Kemudian, dia pergi begitu saja meninggalkan mereka. Menyisakan Nalendra dan Galang yang hanya memandangnya menjauh.
“Je!” Galang berusaha menahan, tetapi cowok itu tetap pergi. “Duh, ngomong apa juga tuh anak….”
“Masih ngeyel sih keknya.”
Kegiatan Camp Pramuka Nasional hari ini dimulai beberapa saat kemudian. Naik turun tebing. Lokasi yang digunakan tentu masih berada di kawasan Gunung Welirang seperti biasa. Berbekal tali pengaman yang dipasang pada badan, helm, pelindung lutut dan siku, mereka akan berlatih menaiki serta menuruni tebing, bergantian dengan beberapa anggota lain di masing-masing regu.
Kakak-kakak berjaga di atas sambil terus memberikan arahan dan evaluasi kepada masing-masing anak. Sementara akamsi berjaga di bawah untuk mengantisipasi apabila terjadi hal buruk sambil ikut mengawasi mereka. Ada juga sebagian akamsi yang berjaga di tengah tebing, stand by sambil mengenakan tali pengaman.
Jeje kebagian berjaga di bawah tebing untuk mengawasi Regu Rinjani, bersama Galang. Bukan hanya itu, bahkan saat ini yang berada lurus di hadapannya adalah Alera, yang sejak tadi naik-turun tebing beberapa kali sambil terus diberi arahan oleh Miss Aca. Mata Jeje fokus pada gadis itu, mengawasinya, memastikan tak ada tanda-tanda hendak jatuh atau cedera. Namun, mata cowok itu tak bisa berbohong.
Rasa sakit yang nyata.
Rasa lelah yang tanpa henti menghantui.
Jeje bahkan sudah tak ada tenaga untuk meminta tukar dengan akamsi lain agar tak perlu berjaga untuk Regu Rinjani. Dia sudah terlalu lelah akan segalanya. Biarlah, dia akan menerima semua rasa sakit yang timbul dalam hatinya saat ini. Begitu sesak. Menyerupai sebuah keputusasaan yang berusaha menyeretnya ke dalam jurang nan gelap.
Dia hampir tak bicara sama sekali, kecuali diperlukan terkait tugasnya sebagai akamsi penjaga. Tak ada lagi Jeje yang ceria dan penuh banyolan yang bisa keluar dari mulutnya setiap saat. Saat ini, dia menjadi sangat pendiam dan murung.
Galang sesekali menatapnya khawatir, tetapi dia juga sudah tak tahu lagi bagaimana cara mengubah pikiran Jeje. Yang bisa Galang lakukan saat ini untuk temannya itu, hanya mengeceknya sesekali untuk memastikan bahwa Jeje tidak akan tiba-tiba pingsan akibat kelelahan atau semacamnya.
“Jeje!”
Suara itu sama-sama membuat si pemilik nama maupun Galang menoleh ke atas. Alera menuruni tebing, bersamaan dengan Kalavi di sebelahnya—kebetulan. “Kok lo jadi murung gitu sih?” kata gadis itu saat akhirnya menapak tanah, mendarat dengan sempurna. Dia dan Kalavi sama-sama melepas tali pengaman dari badan karena akan digunakan oleh anggota yang lain.
“Gak apa-apa,” jawab lirih Jeje, terlalu singkat, sambil menatap ke arah lain daripada gadis itu.
Alera perlahan melangkah sekali, mendekat padanya. “Kenapa sih, Je? Lo bener-bener beda, lho. Kalau pun gue yang salah, bilang aja. Atau lo ada masalah? Gue khawatir banget, Je. Nanti cerita, ya, ke gue—”