Hearts to Venturer

Adinda Amalia
Chapter #25

24: Step Back, Dear Jantzen [Hari 12 - Malam]

Insiden dalam kegiatan hari ini membuat seluruh peserta Camp Pramuka Nasional menjadi gempar. Kebenaran akan cinta segitiga di antara Jeje, Alera, Kalavi kini diketahui oleh semua orang—anak pramuka, akamsi, dan kakak-kakak.

Akibat kekacauan tadi, Jeje dan Kalavi dihukum untuk sikap siap di depan tiang bendera yang ada di tengah area perkemahan. Mungkin terdengar ringan, tetapi hukuman mereka baru boleh diakhiri saat tengah malam tiba.

Anggara mengizinkan anggota Regu Rinjani dan beberapa akamsi—Galang, Nalendra, Raka—untuk memberikan makanan dan minuman, itu pun harus disuapi karena mereka berdua tak boleh bergerak sama sekali. Jeje dan Kalavi hanya boleh mengobrol—tetapi tidak boleh sampai rusuh atau bertengkar lagi—dan pergi untuk ke toilet dengan izin kakak-kakak.

Mereka mengelilingi dua cowok yang sedang dihukum itu. Memandang dengan macam-macam ekspresi, antara kasihan, heran, dan pengen ketawa. Yoga membuka sebotol air mineral, kemudian membantu Jeje untuk minum, bergantian dengan Kalavi setelah itu. “Pelan-pelan aja.”

Langit menatap pemandangan yang terjadi di depan matanya saat ini dengan muka yang sulit dijelaskan. “Gak pernah gue bayangin bakal liat kejadian kayak gini di kegiatan Pramuka kita….”

Dein mengamati dua cowok itu, tatapannya berhenti pada si bule. “Sakit, Je, pundak lo?”

Jeje menatap balik gadis itu dengan muka tenang, tetapi murung yang tak bersahabat. “Gak apa-apa.”

“Ngibul,” sahut Galang, sudah tahu pasti kelakuan temannya itu.

Eva tampak cukup khawatir sekaligus peduli pada keduanya, “Semangat, ya, Jeje, Kalavi.”

“Semangat, ya, Vi,” kata Linzy, ikut-ikut. “Mau gue suapin gak?”

“Gue aja.” Putra langsung mengambil salah satu dari dua piring berisi nasi dan lauk—memang disiapkan untuk Kalavi dan Jeje—yang dipegang Eva. Langkah yang lebih baik, daripada menambah masalah.

Piring satunya diambil oleh Nalendra, untuk menyuapi Jeje. Dia menyendok sebagian, kemudian berbicara dengan sok-sokan menggunakan nada anak kecil, “Ayo, anak mami. Buka mulutnya, sayang. Ada pesawat terbang, ada pesawat terbang. Ngeeeng!”

“Alay,” kata Jeje dengan risih, tetapi tetap membuka mulut untuk memakannya. 

Sementara itu, Putra belum-belum sudah kesal dengan Kalavi yang tampak sangat sulit untuk disuruh makan. “Gue gelitikin juga lo ,Vi.”

“Kagak lucu, Put!”

Memandang temannya itu, Raka menghela napas. Sudah tak ada lagi muka kesal, marah, tak terima kepada Jeje seperti beberapa hari belakangan. Sekarang, Raka malah ikut kasihan. “Pantesan kamu dulu marah sampai segitunya ke aku… selama kita temenan, baru kali ini lho kamu kayak gitu, Je, makanya aku dulu juga ikut kaget dan kebawa emosi.”

Jeje masih cemberut, sambil mengunyah makanan. Sementara Kalavi meliriknya dengan mata sengit.

Langit menghela napas melihat dua cowok itu, “Udah lah kalian berdua.”

“Dua-duanya sama-sama salah. Stop nyalahin yang lain, sadar diri aja,” Putra menambahi.

Kalavi langsung mengomel, “Dih, ogah!”

Jeje hanya diam, masih membuang muka dengan setengah hati.

Respons keduanya membuat yang lain benar-benar keheranan. Kalavi memang sering menyebalkan, tetapi kali ini benar-benar menguji kesabaran sampai ke ubun-ubun. Sementara Jeje yang biasanya tak pernah bisa diam itu, sekalinya tutup mulut sungguh membuat pusing.

Putra menyerah. “Lo aja yang suapin mereka berdua deh, Le. Gak sanggup gue.”

Sempat agak berat hati, Alera kemudian mengambil juga piring yang diberikan Putra padanya. Pelan-pelan dia menyuapi Kalavi dan Jeje bergantian, sambil menatap keduanya cukup lama. “Udah, ya, adil nih….”

Lihat selengkapnya