Kalavi masih setia duduk di kursi lipat, menyesap teh hangat buatan Yoga. Tiga pasang mata mengelilinginya, menunggu ia bicara. Tapi sejak semalam, mulutnya terkunci rapat. Peristiwa itu seperti cap buruk yang bakal diingat seumur hidupnya—bukan Cuma oleh dia, tapi semua orang yang melihatnya terjatuh begitu lemah.
“Udahlah, Vi. Buka mulut lo, ngomong kek!” seru Langit.
“Jangan dipaksa, Ngit. Yang dipaksain itu nggak pernah enak,” sahut Yoga. Ucapan itu membuat sudut bibir Kalavi sedikit terangkat, senyum tipis terbit.
“Demi apa lo senyum juga, Vi? Gue sungkem dah!” Langit berdiri sambil menengadah ke langit cerah.
“Nggak usah lebay, Ngit,” tegur Putra.
“Kocak lo,” gumam Kalavi akhirnya.
Yoga hampir frustasi. “Vi, gue tahu lo pasti malu banget.”
“Iya Vi,” potong Putra cepat. “Tapi bukan berarti kita ngetawain lo. Kita Cuma khawatir.”
“Lagi pula si anak akamsi itu baik-baik aja. Lo nggak usah mikirin dia,” tambah Yoga.
Kalavi mendengus. “Emang sejak kapan gue mikirin dia? Ogah banget!”
“Udahlah, maafin dia. Toh kita juga bentar lagi balik,” lirih Yoga. “Gue tahu lo kecewa.”
“Kasih gue satu alasan kenapa harus maafin dia? Gue nggak suka dia kasar sama Alera.”
“Lagian lo sendiri yang bilang, Alera jelas-jelas sukanya sama Jeje. Ngapain lo masih belain?” Langit mulai kesal.
“Lo diem!” bentak Kalavi. Wajahnya menegang. Ia berdiri dan langsung pergi.
Putra menggeleng. “Kan! Lo sih. Kita Cuma mau ngomong baik-baik.”
Langit ikut tersulut. “Ah, terserah dia lah. Gue juga muak urusan pribadi dijadiin drama publik. Ini kegiatan resmi, bukan panggung sinetron.” Ia pun berlalu.
Putra menarik napas berat. “Anak-anak pada stres semua.”
Di tempat lain, Alera berjalan lesu. Hatinya makin berat setelah mendengar kabar dari teman Jeje—cowok itu belum tentu muncul hari ini, besok, atau entah kapan. Padahal Alera hanya ingin berbicara dengannya.
Terlalu larut dalam lamunan, ia justru menabrak Kalavi.
Mereka terdiam sejenak, saling bertatapan. Mata Kalavi penuh amarah yang belum padam. Ia cepat-cepat membuang muka dan hendak pergi, tapi tangan Alera menahannya.
“Vi, tunggu. Kita perlu bicara.”
Kalavi menyentakkan tangannya. “Puas lo bikin gue malu? Kelakuan cowok lo bikin harga diri gue jatuh di depan semua orang!”
Alera tercekat. “Gue sama sekali nggak ada niat bikin lo malu,” suaranya melemah.
“Gue nggak mau lihat muka lo lagi, Le!” Kalavi berusaha pergi, tapi lagi-lagi Alera menahannya.
“Maaf, Vi. Tapi jangan salahin Jeje. Dia nggak salah.”
Kalavi tertawa sinis. “Masih aja lo belain dia? Padahal jelas dia nyakitin lo, Alera. Tau gitu gue nggak usah capek-capek belain lo di depan semua orang. Sekalian aja gue biarin lo jatuh!”
Ucapan itu menghantam Alera. Dadanya sesak, tapi ia tetap nggak bisa menyalahkan Jeje.
“Gue juga nggak pernah minta lo tolongin, Vi…” balas Alera, matanya berkaca-kaca.
Kalavi menatapnya kecewa. “Jadi setelah semua yang gue lakuin, nggak ada harganya?”
“Gue nggak bisa marah sama dia, Vi!” bentak Alera. Air matanya jatuh. “Gue sayang sama Jeje.”
Kalavi terdiam. Pelan-pelan, ia hanya mengangguk tipis sebelum berbalik pergi.
Namun sebelum benar-benar menjauh, ia berkata pelan.
“Lo juga harus tahu, Le… gue juga sayang sama lo.”
Alera membeku. Air matanya makin deras, sementara matanya menatap punggung Kalavi yang menjauh.
***
Sementara itu, di dalam tenda panitia, Kalavi duduk diapit orang tuanya.
“Jadi begitu, Pak. Permasalahan pribadi,” jelas Anggara ramah. “Yang pasti, kami akan terus memastikan kondisi Kalavi baik-baik saja. Kami selaku panitia dan pembina juga meminta maaf.”
Pak Dirga menepuk bahu Anggara. “Nggak apa-apa, Nak. Kalavi yang memilih ikut kegiatan ini, artinya dia siap tanggung jawab dengan segala konsekuensinya.”
“Terima kasih banyak, Pak,” ucap Anggara tulus.
Pak Dirga tersenyum. “Santai saja. Permasalahan anak muda memang begitu. Saya jadi ingat masa muda dulu, bersaing dengan laki-laki yang lebih pantas dari saya. Tapi lucunya, istri saya tetap memilih saya….” Ia melirik mama Kalavi sambil tertawa kecil. “Ya, sudahlah. Itu masa lalu.”
Anggara ikut tersenyum kaku, takut salah menanggapi. “Baik, Pak. Kalau begitu saya pamit dulu ke lapangan. Kalavi, kamu boleh di sini dulu.”
“Iya, Kak,” jawab Kalavi singkat.
Begitu Anggara keluar, Kalavi pun hendak pergi. Namun papanya tiba-tiba berdiri dan memeluknya erat.
“Nak… Papa rindu. Maafin Papa, ya. Sekarang Papa datang… bawa Mama juga.”
Kalavi terdiam. Pandangannya kabur, karena menahan air mata. Ia melepaskan pelukan papanya, lalu beralih menatap mamanya. Dengan gemetar, ia meraih tangan sang mama, menciumnya, lalu memeluknya erat.
“Ma… Kalavi rindu.”
Mama Kalavi mengeratkan pelukan. “Mama juga rindu, sayang.”
“Maafin Kalavi sudah bikin Mama sama Papa khawatir.”
“Nggak apa-apa, Nak. Justru Mama senang bisa ketemu kamu lagi. Kata Papa, kamu boleh kapan saja main ke rumah Mama.”
Kalavi melirik papanya yang juga meneteskan air mata. “Iya, Nak. Papa izinin kamu main kapan saja ke rumah Mama.”
Kalavi langsung menarik papanya, hingga mereka berpelukan bertiga.
Di samping tenda, Alera tanpa sadar menitikkan air mata. Di balik sikap Kalavi yang sering menyebalkan, ternyata cowok itu menyimpan rindu dalam yang terpendam lama pada mamanya.
“Le, lo di sini rupanya!” seru Dein ngos-ngosan, diikuti Eva yang mengekor di belakang.
Alera buru-buru mengusap air matanya. “Ada apa?”
“Pionering menara kita hilang, Le!” panik Dein.
Alera sontak ikut panik. Pionering itu terakhir dikerjakan bareng Kalavi. Saat itu, Kalavi memintanya menyampaikan ke Yoga, Langit, dan Putra untuk melanjutkan, tapi ia lupa.
“Duh, Dein, Va… kita harus cari ke mana sekarang?”
“Laporin ke Kalavi aja!” celetuk Eva.
“Jangan sekarang!” sentak Alera, cepat-cepat menjelaskan. “Maksud gue… jangan sekarang. Kalavi lagi bareng orang tuanya. Kita cari anak-anak lain dulu, siapa tahu mereka yang pindahin.”