Hearts to Venturer

Adinda Amalia
Chapter #27

26: ‘"Secret Letter" [Hari 13 - Malam]

Yoga dan Kalavi sibuk menumbuk cabai dan tomat. Langit dan Putra merebus daun ubi, sementara Eva dan Dein menggoreng tahu dan ikan. Linzy dan Alera duduk santai, bagian mereka masak nasi sudah selesai lebih dulu.

“Masakan udah jadi, Tuan Putri,” ujar Langit sambil menyodorkan piring ke Linzy dan Alera.

“Vi, sambelnya dong,” pinta Dein.

“Belum jadi, ege!” sahut Kalavi.

Seketika Alera melotot ke arahnya.

“Mulut dijaga, Vi. Istri lo ngamuk tuh!” seloroh Yoga.

Tawa pun pecah. Linzy sampai terpingkal-pingkal.

Alera mendengus kesal. “Enak aja! Gue tuh istrinya Ronaldo, jauh banget kalo sama Kalavi!”

Kalavi hanya tersenyum tipis menanggapinya.

Setelah semua hidangan siap, Alera memilih duduk di samping Kalavi. Sementara Linzy sengaja duduk di dekat Langit.

Melihat Kalavi tengah menatap tahu goreng, Yoga langsung nyeletuk. “Vi! Lo makan atau mau gue cemplungin ke sungai?”

“Iya, iya, gue nggak makan. Cuma liatin doang kok,” elaknya.

Langit malah sengaja makan tahu dengan gaya lebay, dikunyah lama sambil cengengesan, bikin Kalavi tambah sebal.

Selesai makan, giliran Alera dan Linzy yang membereskan piring. Sementara yang lain sudah sibuk siap-siap ke lapangan.

Alera menaruh piring ke rak. “Akhirnya, selesai juga, Linz.”

“Iya, nih,” balas Linzy.

“Yuk, buruan. Nanti ketinggalan.”

“Tunggu, Le. Ada yang mau gue omongin sebentar.”

Alera menoleh. “Oh, oke.”

Mereka saling berhadapan. Linzy menunduk, lalu meraih tangan Alera.

Alera kaget, bingung, tapi jelas penasaran.

“Le..., gue mau minta maaf. Gue udah banyak salah sama lo. Padahal lo selalu baik sama gue...” suara Linzy bergetar, matanya berkaca-kaca.

“Linz, lo tenang dulu. Gue bahkan nggak tahu salah lo apa, sampai segininya lo nangis minta maaf.”

Linzy mengusap air matanya yang mulai jatuh. “Lo bakal benci sama gue setelah tahu apa yang gue lakuin ke lo, Alera...” katanya sambil sesenggukan.

“Kenapa, Linzy…?” suara Alera pelan.

“Dari awal gue suka sama Kalavi,” ucap Linzy lirih, matanya basah. “Tapi Kalavi selalu nge-treat lo, Le. Walaupun dia sering marahin lo, gue tahu itu Cuma kedok biar bisa dekat sama lo.”

Alera terdiam, menunggu Linzy melanjutkan.

“Gue nggak bisa terima itu, Le. Waktu kita main estafet air, gue sengaja jatuhin air ke lo. Gue pengen lihat reaksi Kalavi. Dan bener aja… walau bukan dia yang langsung nolongin lo, tapi dia khawatir banget saat itu.”

Alera tercekat. Perasaan kecewa mulai merambat di dadanya, tapi ia masih menahan diri untuk mendengar.

“Setiap Kalavi marah ke lo, itu sebenarnya cuma cara dia buat dapetin perhatian lo. Gue cemburu… padahal gue tahu, Kalavi nggak pernah suka sama gue. Gue salah, Le. Gue sadar, perasaan yang gue kejar dengan cara salah, ujungnya pasti kalah.” Linzy sesenggukan, suaranya pecah. “Gue juga yang atur biar pionering itu hilang. Gue Cuma mau lihat, Kalavi bakal milih siapa. Dan iya kan, Le? Dia tetap jaga lo dengan caranya sendiri.”

Linzy menangis semakin keras. “Maafin gue, Le. Gue udah jahat. Harusnya gue bukan kejar cinta, tapi kejar prestasi di kegiatan ini. Kalau lo mau tampar gue, tampar aja!” Ia meraih tangan Alera, menempelkannya ke pipinya.

Tapi Alera buru-buru menarik tangannya, menahan Linzy. Meski sakit hati, ia justru memeluk cewek itu erat. “Gue udah maafin lo, Linz… gue juga minta maaf.” Air matanya akhirnya jatuh juga. Ada kecewa, ada luka, tapi juga rasa lega.

“Kok lo jahat banget sih, Linz…” bisik Dein dengan mata merah. Ia dan Eva ikut merangkul mereka, jadi pelukan berempat yang penuh tangis.

“Dein, Va, gue minta maaf. Gue keterlaluan…” Linzy makin sesenggukan.

Dalam pelukan itu, Linzy benar-benar menyesal. Ia sadar, pertemanan yang tulus selalu bisa menerima kekurangan, bahkan kesalahannya yang fatal.

Dari kejauhan, Kalavi memperhatikan. Ada sedih, ada kecewa atas sikap Linzy.

“Udah dong nangisnya…” Alera berusaha menenangkan. Suaranya masih bergetar. “Bentar lagi kita bakal pisah. Gue nggak mau kenangan ini jadi rusak.”

Linzy kembali memeluk Alera lebih erat.

**

Upacara api unggun akan segera dimulai. Salam kehormatan diberikan kepada bendera yang berkibar gagah di atas sana.

Penghormatan juga ditujukan kepada pembina, kakak-kakak panitia, dan anak-anak akamsi—meski Jeje tak terlihat, penghormatan itu seolah tetap sampai padanya.

Seluruh peserta serempak menunduk, menahan haru, saat delapan pinru berjalan rapi dari arah kanan podium dengan obor di tangan. Langkah mereka pelan, tapi mantap.

Obor diangkat tinggi-tinggi, lalu mereka berputar mengelilingi susunan kayu yang menjulang. Kalavi, sebagai perwakilan, melangkah ke depan dan menyatukan obornya dengan kayu. Api pun menyala, menjilat ke langit malam.

Dengan gerakan khas Pramuka, mereka mengitari api yang berkobar. Alera mengusap air matanya. Benar kata Kalavi, ia memang mudah menangis. Dari kejauhan, Kalavi tampak gagah di atas sana—apalagi setelah semua yang ia lewati selama camp ini. Tangis Alera makin pecah ketika Yoga merangkul bahunya, disusul Dein yang ikut merangkul.

Dari belakang, Linzy tiba-tiba memeluk erat.

“Cantik banget sih!” ucapnya gemas, membuat Alera hanya bisa menunduk.

Lihat selengkapnya