Api unggun tak pernah tidak hangat. Menuju penghujung hari Camp Pramuka Nasional, momen perpisahan mulai terlihat di depan mata, membuat semuanya merasa ingin begitu menikmati dan menghargai kebersamaan yang masih tersisa.
Air mata yang jatuh, seperti campuran dari kebahagiaan juga kesedihan akan perpisahan yang tinggal menunggu hari.
Malam itu, Jeje sungguh datang. Langkah pelan si cowok akamsi, menarik mata semua anak-anak Regu Rinjani. Pakaian kaos putih lengan pendek, dimasukkan ke dalam celana panjang warna hitam, serta sebuah sepatu santai yang bagus. Rapi, tetapi terasa aneh untuk Jeje yang biasanya berpakaian seadanya dan berantakan.
“Bilangin sama pinru kalian, gak usah sok ngatur. Bukan dia yang bisa nentuin apakah apa yang aku lakukan itu suatu tindakan yang pengecut atau enggak.”
Dan, benar sana, Jeje yang ada di hadapan mereka, masihlah bukan Jeje yang mereka kenal.
Setelahnya, Jeje berbalik dan pergi tanpa mengatakan apa pun lagi, hanya memandang sesaat Kalavi dari kejauhan dengan tatapan tak suka. Bayangan lelaki itu menghilang di jalan setapak yang memisahkan area perkemahan, menyibak hutan luas kaki Gunung Welirang, menuju pemukiman terdekat.
Di tengah api unggun yang hangat itu, siapa sangka Regu Rinjani mengalami perubahan suasana begitu drastis. Hilang sudah semua senyuman, tawa, dan kehangatan mereka. Sekarang, suasana menjadi dingin dan canggung. Bahkan Kalavi yang sedang bermain gitar di depan, ekspresinya berubah tak menyenangkan—yang tetap sedikit terlihat meski berusaha dia sembunyikan sebaik mungkin.
Mungkin, Jeje yang mereka kenal, memang tak akan pernah kembali lagi.
***
Paginya, saat Jeje hendak keluar rumah, Bundanya menghampiri. “Jantzen, are you really okay, my son?74”
Jeje menoleh belakang. Pintu rumah dibuka, tertahan di tangannya. Udara sejuk menghambur dari luar, memeluknya bersamaan suara pelan ranting-ranting dan kicauan burung sayup-sayup. Matahari baru saja selesai dari fajar.
Menangis di depan bundanya adalah titik terendah Jeje, tempat paling nyaman yang hanya akan didatanginya ketika dia benar-benar sudah tidak mampu menanggung seluruh rasa sakit. Namun, sepertinya sekarang dia menyesal telah menangis kepada bundanya dua hari lalu. Sejak kemarin, muka bundanya jadi terlihat begitu khawatir.
Mau tak mau Jeje memaksa senyum. “Jantzen istirahat, kok, Bun. Ini Jantzen mau ke puncak, bukan mau tugas jaga di Pramuka Nasional.”
“Yakin, Nak?” suara budanya makin lembut.
Jeje tersenyum. “Gak apa-apa, kok. Bunda jangan khawatir, ya.” Meski demikian, sesungguhnya hatinya masihlah begitu berantakan. Bahkan, rasanya makin parah. Jeje tak ingin berbohong, tetapi itulah satu-satunya cara agar bundanya tidak makin khawatir. “Jantzen berangkat, ya, Bunda.”
Saat dia kemudian hendak benar-benar keluar rumah, sebuah ucapan kalian tiba-tiba menghentikannya, “Jantzen… maaf, ya, Nak. Bunda gak bisa ngasih yang terbaik buat kamu. Andai seseorang yang jadi papa kamu adalah orang yang lebih baik, kamu gak perlu ngerasa kayak gini.”
Itu adalah sesuatu yang paling menyakitkan untuk didengar oleh Jeje, dari bundanya.
Jeje langsung berbalik, memeluk bundanya. Erat. Begitu erat seperti Jeje kecil dahulu memeluk bundanya. “Jantzen gak pernah nyalahin Bunda. Lagian, kalau masa lalu enggak demikian, mungkin bukan aku yang lahir dari perut Bunda, mungkin aku gak bakal ketemu Bunda. Jadi, jangan sedih, ya, Bunda… Jantzen mohon.”
Berbekal satu botol minum ukuran sedang, Jeje menyusuri jalur menuju puncak Gunung Welirang. Pepohonan tinggi yang telah akrab. Tanjakan, bebatuan, dan seluruh trek yang sudah dilalui sekian kali. Alih-alih karena kesulitan, muka Jeje masam karena segala pikiran yang tak ada habis dan perasaan mengganggu.
Ucapannya kepada Bunda memanglah selalu tulus, termasuk yang barusan. Namun, tidak dengan senyuman yang diberikan. Apa yang terjadi barusan, hanya menambah sakit di hati Jeje.
Saat Jeje menyadari, dia telah sampai di puncak Gunung Welirang. Aroma belerang yang khas, kawah luas yang megah, awan-awan yang menyapa seperti sebuah senyuman paling dari bumi. Di ketinggian luar biasa ini, tak pernah tidak membuatnya kagum. Puncak Welirang selalu indah.
Agak menjauh dari para pendaki yang tak pernah sepi dari puncak Welirang, Jeje duduk di bebatuan, seorang diri, sekaligus menghindari aroma belerang yang tidak baik untuk dihirup terlalu banyak.
Hanya sedetik kemudian, tiba-tiba pikirannya sudah berkelana. Tentang teman-temannya sesama akamsi, Regu Rinjani—terutama Kalavi yang menjadi terlibat dalam permasalahan ini, apalagi Alera. Dan kini, Bundanya menjadi ikut khawatir.
Di awal, tugas berjaga dalam Camp Pramuka Nasional ini terasa seperti kegiatan berbeda yang Jeje pikir akan menjadi pengalaman unik dan menyenangkan baginya. Dia tak pernah menyangka, bahwa semua akan berakhir demikian. Sekarang bahkan sudah hari terakhir dari rangkaian kegiatan pramuka, tetapi Jeje tak ada niatan untuk menemui Alera sama sekali.
“Berpisah di sini… mungkin emang pilihan yang benar.” Jeje sudah benar-benar tak tahu harus berbuat apa lagi. Rasanya, setiap tindakannya hanya membuat orang-orang di sekitarnya tersakiti.
Welirang masih berdiri megah. Saksi besar dari seluruh lika-liku ini, sekaligus saksi yang sunyi, yang akan menyimpan erat-erat dan dalam-dalam, kenangan mereka seperti sebuah masa lalu yang tenggelam di dalam tanah.
Jepretan foto dari ponsel Jeje berbunyi lirih saat berhenti di taman edelweiss, masih tak jauh dari area puncak Gunung Welirang. Dia hendak mengirimkan kepada bundanya, dengan niat agar bundanya tahu bahwa dia baik-baik saja di puncak.
“Jantzen udah mau turun lagi, Bun,” bisiknya kepada diri sendiri saat membaca ulang pesannya, sebelum mengirim… ke Alera.
Jeje buru-buru mengencek kembali ponselna yang baru saja disimpan di dalam kantong.
“Loh eh?! Enggak, enggak, enggak! Gak mungkin…!” Dia membuka aplikasi pesan dengan jari yang gemetar sedikit. Berharap kontak yang dikirimi foto dan pesan olehnya barusan benar-benar bernama Bunda alih-alih Alera.
Namun, ternyata….
Itu benar-benar kontak Alera.