Secara resmi, saat ini adalah malam terakhir dari rangkaian Camp Pramuka Nasional. Ada acara besar juga, yang akan dimulai masih agak lama lagi sehingga anak-anak pramuka masih berada di tenda masing-masing.
“Sini deh!”
Jeje cemberut, tetapi dia tak benar-benar menolak saat Kalavi menyeretnya untuk ikut berkumpul dengan Regu Rinjani di dekat tenda mereka. Cowok itu masih agak-agak murung walau mendingan daripada kemarin—lebih bisa diajak bicara.
Di tepi area perkemahan, telah didirikan panggung. Malam kemarin sudah ada banyak sekali penampilan dari peserta pramuka, sedangkan nanti adalah giliran para akamsi—kebetulan cowok semua—sebagai acara penutup dari serangkaian Camp Pramuka Nasional. Microphone sedang dites, properti ditata, dan sebagian lain akamsi mondar-mandir untuk menyiapkan panggung yang masih perlu dirapikan sedikit lagi.
Salah satunya Raka, sejak tadi ke sana kemari membawa gitar, sound system tambahan, dan macam-macam benda besar lain secara bergantian. Mondar-mandirnya cowok itu melalui sekitar tenda Regu Rinjani, yang tentu saja selalu menjadi perhatian Jeje—dengan tidak suka.
“Diwasi lak mlaku75,” kata Jeje, tegas dan agak ketus.
Bukan satu dua kali Jeje mengingatkan, melainkan berulang-ulang, nyaris setiap kali Raka melintas. Namun, sepertinya itu semua hanya masuk dari telinga kanan, lalu keluar dari telinga kiri. Atau mungkin, matanya entah digunakan untuk melihat jalan atau kotak-kotak camilan di meja depan tenda konsumsi.
“Awas!” Jeje langsung bergeser maju untuk melindungi Alera dari kursi yang sedang dibawa oleh Raka, nyaris tak sengaja menyenggol gadis itu, justru menghantam punggung Jeje sedikit akibat cowok itu pasang badan.
“Sorry, sorry,” katanya, tetapi Raka begitu saja berlalu pergi, nadanya pun setengah hati.
Tatapan Jeje pada temannya yang menghilang ke arah tenda itu langsung sengit.
“Udah, Je,” seru Yoga.
“Papa kemarin mampir ke tempat lo, Je?” Kalavi mengubah pembicaraan, membuat muka si cowok yang diajak bicara menjadi sedikit berkurang marahnya. “Beliau marahin elo gak?”
“Enggak, cuma ngobrol doang,” kata Jeje, tak terlihat tertarik untuk bercerita lebih lanjut. Alih-alih, tatapannya tak sedikit pun beralih dari Raka yang mulai muncul lagi dari kejauhan—dan sudah pasti akan melintas lagi.
Kali ini, cowok itu membuka dua tumpuk kardus, entah apa isinya. Belum sampai Jeje mengingatkan, Raka tersandung batu sehingga keseimbangannya runtuh. Cowok itu masih bisa bertahan untuk tidak tersungkur ke tanah—walau nyaris. Sialnya, kotak bagian atas yang dibawanya, terlempar.
Lurus ke arah Alera.
Jeje langsung melesat ke hadapan gadis itu. Sempurna melindunginya. Namun, sayangnya, posisi Jeje mengakibatkan kotak untuk jatuh tepat di kepalanya. Cowok itu merintih kesakitan sedikit, sambil menangkap kotak itu sesaat setelahnya. Syukurlah tak ada luka serius, toh agaknya kotak itu tak berlalu berat.
Tak begitu mengkhawatirkan.
Kecuali ekspresi Jeje saat ini.
Cowok itu dari awal memang sudah murung dan masih agak-agak pemarah. Kejadian barusan, seketika menambah kekesalannya. Dia menggeram. Baru kali ini, Jeje terlihat begitu muak. Amarahnya bukan dilepas, tetapi ditahan seolah-olah dia mengumpulkan sampai ke titik paling ujung, sebelum membentak Raka, “Diomongi lak mlaku diwasi ki yo diwasi! Wes gerang barang, genah opo ra sakjene?!76”
Bila saja bukan untuk keperluan panggung, Jeje pasti sudah melempar kotak di tangannya pada cowok itu.
Raka ikut marah, tetapi juga bercampur setengah rasa bersalah. “Minimal bantuin lah, Je!”
“Gak usah ngalihin omongan kayak gitu!” Sedikit-sedikit, Jeje mendekat dan makin mendekat pada Raka. “Kamu ngerti gak apa yang aku omongin?! Hah?! Ngerti, gak?! Dipake apa enggak itu kepala?!”
Jeje sudah sedikit mengangkat kotak di tangannya, antara siap untuk membuangnya ke sembarang arah supaya bisa memukul Raka atau memilih untuk berubah pikiran—benar-benar menggunakan kotak itu untuk menghajarnya.
Anak-anak Regu Rinjani di dekatnya langsung diam. Tak seorang pun berani mengusik. Jeje menjadi persis seperti hari lalu saat Raka mengajaknya bicara berdua selepas pertengkaran mereka. Sepenuhnya bukan lagi Jeje yang mereka kenal.
Udara malam itu dingin.
Menusuk kulit.
Terasa asing.
“Je, please… udah….” Sampai kemudian, sentuhan tangan Alera pada lengan cowok itu seakan-akan membuat udara kembali menjadi hangat, sekaligus hati Jeje. Mukanya masih garang, tetapi dia menurut saat Alera menariknya mundur dari Raka. Sedikit, demi sedikit.
Saat sudah ada cukup jarak di antara dua cowok itu, Alera bergeser untuk berdiri tepat di hadapan Jeje. Memisahkan dari Raka sekaligus mengalihkan perhatiannya. “Je, tenang dulu. Lihat gue. Tenang, ya?” kata Alera lembut.
Jeje semula agak menunduk sejak Alera menghadapnya. Saat dia kemudian perlahan-lahan memberanikan diri untuk menurut dan menatap mata gadis itu, amarah di mukanya turun seketika.
Sentuhan Alera, caranya bicara. Mirip seperti bagaimana Bunda bersikap tiap kali Jeje marah. Bukan melawan dengan sama-sama keras, melainkan meluluhkan egonya yang sekeras batu dan setinggi puncak Everest. Mengingat si anak mami yang lembut, bahkan dia harus kembali menjadi anak yang tenang dan baik—seperti halnya bagaimana bundanya membesarkannya.
Jeje menunduk lagi, tetapi kali ini wajahnya menjadi seperti anak kecil yang cemberut sehabis dimarahi akibat bertengkar dengan anak lain di taman bermain. Kemudian, cowok itu mengangguk perlahan.
Bila bundanya melihat saat ini, beliau pasti akan tersenyum gemas melihat putranya bisa menjadi sepenurut itu—persis seperti Jeje di depan Bunda—kepada Alera. Toh, gadis itu memang pemberani dan tangguh.
Alera kemudian menghela napas lega. “Beneran berhasil…. Gue dari dulu pengen banget tenangin lu tiap kali marah, tapi jujur gue takut, Je. Tapi barusan, setelah gue memberanikan diri—atau mungkin lebih tepatnya nekat sih… ternyata gue beneran bisa.” Alera tersenyum, suaranya masih begitu lembut.
Tipis-tipis, seperti berusaha ditahan, Jeje tersenyum.
Ternyata apa yang dikatakan ayahnya Kalavi benar. Jeje telah menemukan seseorang yang bisa mengatasi kelemahannya. Seseorang yang bukan membuatnya takut akan amarahnya sendiri yang suka kelewatan, melainkan membuatnya tenang karena akan selalu bisa menenangkannya tiap kali marah.
“Coba liat gue sekali lagi,” kata Alera, masih lembut.
Jeje menurut, mengangkat kepala untuk menatap gadis itu.
Tanpa sadar, pipi cowok itu langsung merona. Dia tak mengatakan apa pun, maupun mengalihkan pandangan dari Alera, benar-benar membeku sambil menatap gadis itu. Sampai saat yang lain bersahut-sahutan mengatakan cie-cie dan sejenisnya padanya, barulah Jeje tersadar dan langsung salah tingkah, menatap mereka semua bergantian dengan panik. “Apa sih?!” Dia kemudian menatap Raka sambil berusaha membuat muka garang—tetapi gagal. “Ra-raka, sana lanjut ngurusin panggung, udah aku maafin!”
Raka tak langsung beranjak. Dia geleng-geleng dulu, menggodanya sedikit, “Si galak ini, pawangnya Alera ternyata.” Barulah, setelah itu dia beranjak pergi, melanjutkan membawa barang ke panggung.
“Apaan sih?!” Jeje masih sok menyangkal, padahal semua yang di sana tahu bahwa itu benar. Alih-alih memasang muka takut seperti ketika Jeje marah besar tadi, mereka justru tersenyum dengan tengil.
“Dari dulu kalau mau ditenangin Alera, langsung bilang aja….” Langit menyenggol pundaknya.
“Enggak!” Jeje menyangkal. Namun, suaranya bukan lagi teriakan galak, melainkan seperti anak kecil yang berusaha membela diri.
“Aduh, garangnya Jeje, takut banget.” Putra memasang wajah ketakutan yang dilebih-lebihkan.
“Udah! Awas aja, awas aja kalian semua! Ayo kita gelut!” Jeje masih tak mau mengalah. Namun, rona kemerahan di pipinya—yang terlihat cukup jelas akibat kulitnya yang begitu cerah—sama sekali tidak sinkron dengan ucapannya.
Kalavi mengangkat dagu, mengejek cowok itu—dalam artian candaan. “Berani lawan kami? Coba sini, berani beneran gak?”