Hearts to Venturer

Adinda Amalia
Chapter #30

Epilog 1: Edelweiss Puncak Welirang

Akamsi berdiri di belakang barisan para peserta Camp Pramuka Nasional. Apel pagi hari ini sedang berlangsung. Terlepas dari sikap siap mereka yang masih tegas dan tertata, tak ada seorang bersemangat seperti hari-hari lalu. Mereka semua tahu, dalam amanat yang disampaikan oleh Anggara, mereka pasti akan diperintahkan berkemas untuk bersiap pulang menggunakan bus di siang atau sore hari—sesuai jadwal yang telah disampaikan di awal kegiatan dahulu.

“Pikirkan kata-kata perpisahan sebaik mungkin, pesan kesan mendalam, curahan hati yang mungkin belum sempat tersampaikan. Silakan kalian simpan dalam-dalam di hati kalian karena…,” kata Anggara, “kalian boleh bersenang-senang dulu selama beberapa hari!”

Sorak-sorai gembira langsung menggema kencang. Sebagian heboh kesenangan, sebagian sibuk bersyukur, sedangkan sebagian lain menyalah-nyalahkan Anggara yang tengil—dan kali ini pun Anggara tak bisa marah, justru tertawa terhibur, karena dia memang sengaja menjahili mereka.

“Untung aja gue belum packing,” kata Yoga saat Regu Rinjani berkumpul kembali di depan tenda selepas upacara apel.

“Tapi, mau ngapain, ya, kita?” kata Eva sambil menatap teman-temannya.

Perubahan jadwal sesungguh tak pernah ada. Pihak bus, sekolah asal para peserta pramuka, dan wali murid telah diberi tahu bahwa akan ada tambahan hari bebas di akhir kegiatan. Hal ini hanya dirahasiakan dari para peserta saja.

Anggara memberikan tambahan beberapa hari bebas untuk berada di area perkemahan dan dapat melakukan apa pun di sekitar kaki Gunung Welirang sesuai keinginan masing-masing—tentu saja dengan pengawasan akamsi.

Jeje menghampiri gerombolan Regu Rinjani. “Mau mendaki gak? Kali ini sampai Puncak Welirang, bukan cuma setengah jalan kayak dulu.”

Anak-anak Regu Rinjani memandang satu sama lain, kemudian mereka sama-sama setuju. Karena tak mungkin Jeje seorang diri menjaga delapan anak kota mendaki sampai ke puncak, dia mengajak Galang, Nalendra, dan Raka. Sehingga dapat dibagi tugas: satu akamsi bertanggung jawab atas dua anak. Tentu saja, Jeje kedapatan menjaga Alera dan Kalavi.

Regu Rinjani mempersiapkan bawaan, perlengkapan, dan pakaian komplit. Sementara para akamsi hanya mengenakan pakaian biasa, sebotol air, dan camilan yang dititipkan ke tas anak-anak Regu Rinjani. Karena bukan bagian dari kegiatan pramuka yang mewajibkan anak pramuka untuk berjuang sendirian, kali ini logistik alias barang bawaan mereka dibawa oleh para akamsi yang sudah terbiasa untuk muncak.

Sama seperti dulu, mereka telah diberikan izin untuk mendaki sejak awal memasuki kaki Gunung Welirang dalam rangka kegiatan Camp Pramuka Nasional. Dengan itu, perjalanan dapat langsung dimulai pukul 07.00 dari area perkemahan.

Mereka menggunakan jalur Sumber Brantas yang memang paling dekat dengan area perkemahan. Kebetulan, jalur ini memang yang paling pendek dan cenderung lebih landai daripada trek lain, walau rintangannya adalah minim sumber air di sepanjang perjalanan menuju puncak—tetapi itu bukan masalah bagi akamsi yang sudah jago menyusuri sampai keluar jalur utama untuk mencari sumber air.

Jeje memimpin di depan, diikuti Alera, Kalavi, Nalendra, Putra, Eva, Raka, Linzy, Langit, Yoga, Dein, lalu Galang di paling belakang yang sekaligus sebagai sweeper—penyapu yang bertugas menjaga agar tak ada seorang pun tertinggal rombongan.

Perjalanan menuju Pos Satu dan Dua setidaknya terasa sedikit ringan dibandingkan dahulu mengingat ini adalah kedua kalinya mereka ke sana. Meski begitu, tantangan tetaplah ada. Gunung tak akan pernah menjadi tempat yang semudah itu ditaklukan.

Di masing-masing Pos Satu dan Dua, mereka berhenti sejenak untuk menjaga stamina Regu Rinjani. Akamsi? Biasanya bablas sampai puncak. Namun, karena kali ini mereka bertanggung jawab terhadap delapan anak kota, mana bisa memaksa untuk melakukan pendakian secepat itu.

Usai beristirahat sebentar di Pos Dua, pendakian kembali berlangsung di pukul 09:30. Canda tawa saling bersahutan, sesekali disela oleh sorakan memberi semangat dan seruan agar selalu berhati-hati. Saat akhirnya sampai di Pos Tiga untuk beristirahat kembali pada pukul 11:00, barulah mulai terlihat perbedaan di antara mereka. Regu Rinjani kelihatan sekali sudah mulai merasakan lelah, duduk di tempat tersedia tanpa banyak bicara, benar-benar butuh istirahat rutin untuk menjaga tenaga. Sementara akamsi malah bermain kejar-kejaran di sekeliling area pos. Istirahat di Pos Tiga cukup lama, mencapai satu jam karena mereka sekalian makan siang.

Saat jam menunjukkan pukul 12:00, pendakian kembali dilanjutkan.

Trek mulai menjadi sangat menanjak dengan kemiringan 50-65 derajat. Hampir semuanya berupa tanjakan sehingga tidak bisa istirahat duduk. Kanan-kiri dipenuhi vegetasi hutan rapat serta banyak ilalang. Belum lagi, terik matahari—yang masih terasa walau terhalang oleh banyak dedaunan dan pohon-pohon tinggi. 

Canda tawa di antara akamsi mulai berkurang. Apalagi anak-anak Regu Rinjani, sudah benar-benar fokus untuk melangkah dengan hati-hati dan tepat. Keempat akamsi dituntut makin teliti dalam mengawasi dan tanggap untuk banyak-banyak membantu. Anak-anak kota itu jelas saja sekali sudah makin lelah, lebih lagi jalurnya mulai menantang.

Pukul 12:45, mereka sampai di tempat istirahat berikutnya. Sebuah area untuk membangun tenda yang bernama Lembah Lengkehan. Kali ini, akamsi sudah tidak bisa bercanda tawa lagi karena harus mengurus Regu Rinjani. Mengambilkan air dari sungai terdekat untuk cuci muka, membersihkan dan menutup luka goresan bagi yang sempat terluka, dan sebagainya. Terlepas dari pendakian jalur Sumber Brantas yang mereka lalui saat ini adalah jalur yang minim sumber air, ajaibnya akamsi tetap bisa saja menemukan sumber air.

Lihat selengkapnya