Tak mengikuti anak-anak akamsi, Kalavi justru melangkah ke arah danau. Yoga, Langit, dan Putra otomatis ikut di belakang.
“Tempat ini favorit lo banget, ya, Vi?” tanya Langit, matanya menelusuri pantulan langit sore di permukaan air.
Kalavi mengangguk pelan. “Iya.”
Ia berdiri diam, menatap danau yang berkilau lembut diterpa cahaya senja. Ada haru yang samar di wajahnya.
Bagi Kalavi, pemandangan ini seperti potongan puzzle yang menyempurnakan Gunung Welirang — tenang, tapi dalam. Tak ada penyesalan, karena beberapa cerita memang cuma datang sekali. Kalau kata orang, tak kenal maka tak sayang.
Langit menyenggolnya pelan. “Kalau lo beneran suka sama Alera, harusnya lo berjuang, Vi.”
Kalavi tersenyum tipis tanpa mengalihkan pandangan. “Alera udah paling pas sama Jeje, kali.”
Putra menepuk bahunya. “Kadang titik terang dari cinta itu… justru di saat lo bisa merelakan.”
Yoga yang sejak tadi diam tiba-tiba bersuara. “Atau… dia nggak ngejar karena tahu itu salah.”
Kalavi menelan ludah, terdiam. Yoga berbalik menatapnya tajam, seperti anak kecil yang siap adu mulut.
“Itu alasan lo, kan?” suaranya dingin tapi dalam.
Langit dan Putra saling berpandangan, menangkap suasana yang berubah.
“Iya,” akhirnya Kalavi mengaku lirih. “Gue nggak bisa ngontrol perasaan gue sendiri.” Ia mengacak rambutnya, frustasi.
Yoga menarik napas panjang, lalu menepuk bahunya pelan. “Lo udah ambil keputusan yang tepat, Vi. Tapi tetap aja… lo salah.”
Langit menyilangkan tangan. “Jadi ada circle dalam circle, nih? Parah, lo nggak cerita ke kita.”
Putra mengangguk cepat, “Bener tuh.”
“Jelasin, Vi,” kata Yoga tenang. “Biar mereka tahu, lo bukannya mundur tanpa alasan.”
Kalavi menarik napas dalam. Kata-kata itu seperti batu yang berat di tenggorokannya, tapi kalau disimpan, justru bakal lebih menyakitkan. Akhirnya ia bersuara pelan, “Gue udah punya pacar. Namanya Kalina.”
Langit dan Putra sontak melotot.
“KAMPRET! KUMAT! Lo gila, Vi! Itu namanya selingkuh!” Langit hampir berteriak. “Dan lo ngasih harapan ke Alera, gila!”
“Gue nggak nyangka lo kayak gini,” timpal Putra kesal.
“Dengerin dulu orangnya,” potong Yoga cepat.
Kalavi menunduk, suaranya merendah. “Gue tahu gue salah. Harusnya gue bisa nahan perasaan ini, tapi gue nggak bisa. Sebelum camp ini, gue sama Kalina lagi break. Nggak ada kata putus, tapi juga nggak jelas. Terus gue kebawa perasaan sama Alera.”
Ia menarik napas berat. “Itu alasan kenapa gue sering marah ke dia. Gue takut perasaan ini tumbuh makin jauh. Karena kalau iya, bukan cuma dia yang bakal sakit— Kalina juga. Tapi pas tahu Jeje suka sama Alera, gue sadar... gue harus mundur sebelum semuanya kebablasan.”
Langit, Putra, dan Yoga terdiam lama.
Akhirnya, Langit maju lebih dulu dan merangkul Kalavi.
“Gue tetap nggak bisa bilang lo benar, tapi... yang namanya perasaan emang nggak bisa dikontrol.”
Putra ikut merangkul dari sisi lain.
“Gue kecewa, Vi. Tapi gue ngerti—setidaknya lo sadar lebih cepat. Dengan mundur, lo udah berusaha buat nggak bikin Alera makin terlibat.”
Yoga menatap mereka dengan seringai geli. “Pantesan lo nggak konsisten—kadang manis, kadang tiba-tiba ngejauh, terus balik lagi baik, terus jahat lagi. Sumpah, sakit jiwa lo!”
Kalavi tertawa kecil, diikuti tawa ketiganya. Mereka mengepalkan tangan ke udara.
“Semua akan pret pada waktunya!” seru Putra.
“Tapi jangan salah,” lanjutnya cepat, “yang pret juga biasanya berawal dari yang manis-manis!”
Mereka kembali tertawa. Tapi tawa itu hanya bertahan sekejap.
“Gue emang salah ke Alera,” ucap Kalavi tiba-tiba, suaranya lebih lembut. “Tapi gue senang dia sama Jeje. Walau dia emosional, Jeje itu penyayang. Dia orang yang tepat buat Alera. Alera cewek yang baik... terlalu peka malah. Dia selalu ngerasa bersalah, selalu mikirin perasaan orang lain. Itu yang bikin gue—” ia berhenti sejenak, menelan kata-katanya, “—kagum.”
Ketiga temannya mengangguk pelan, memahami.
“Gini yah kalau cowok bergosip—” Langit belum sempat menyelesaikan kalimatnya ketika Kalavi tiba-tiba menoleh.
Dan di sanalah Alera berdiri. Kalavi terpaku sesaat sebelum akhirnya panik mengejar.
“Alera! Tunggu!”
Ia meraih lengannya dengan hati-hati. “Sori, Le… semua yang lo denger barusan itu benar. Perasaan gue ke lo… salah. Gue nggak bisa ngontrol diri gue.”
Alera menatapnya lama, air mata mulai jatuh. “Lo tahu nggak, Vi… yang nyakitin bukan karena lo punya pacar.”
Suaranya bergetar. “Tapi karena dari awal niat lo udah nggak jujur. Lo tahu nggak gimana rasanya percaya sama seseorang yang ternyata lagi berusaha nahan diri buat nggak nyakitin lo, tapi malah tetep nyakitin?”
Ia tersenyum tipis di antara air mata. “Gue nggak tahu harus marah atau kasihan, Vi. Tapi... yang jelas, gue kecewa.”
Tangan Alera dingin di genggaman Kalavi. “Apapun itu… makasih, Vi,” bisiknya.
Kalavi menunduk. Rasanya seperti kalah telak—bukan karena cinta yang gagal, tapi karena menyadari betapa besar luka yang dia buat.
Lalu Jeje muncul. Tatapannya jatuh pada tangan Alera yang masih digenggam Kalavi.
Alih-alih melepaskan, Kalavi justru memberi kode halus agar Jeje mendekat. “Sori, Je,” katanya lirih. “Gue pinjem tangan cewek lo sebentar.”
Ia tersenyum tipis, lalu menyatukan tangan Alera dengan Jeje. “Gue mundur, karena gue tahu lo orang yang tepat buat dia.”
Kalavi mundur perlahan, memberi isyarat pada Langit, Putra, dan Yoga untuk pergi.
Jeje menggenggam tangan Alera lebih erat, menatap Kalavi dengan senyum tenang.
“Vi, tunggu!” panggil Jeje. Kalavi menoleh cepat.
“Kenapa? Lo mau gue jadi nyamuk?”
Jeje tertawa kecil. “Bukan. Aku cuma mau bilang... aku terima tantangan dari temen-temenmu itu.”
Kalavi menatap Langit yang nyengir lebar. “Challenge apaan lagi, sih?”
“Udah ikut aja!” seru Alera tiba-tiba, menarik tangannya. “Hari ini nggak akan terulang lagi.”
“Eh, kok ke sungai sih?” protes Kalavi sambil tertawa bingung.
Nggak ada yang menjawab. Mereka malah berlari, menembus sore, menuju tepian sungai—tempat semua cerita mereka dimulai.
**
Yoga terbahak melihat Raka dan Putra datang dengan susah payah membawa sound system yang beratnya bukan main.
Kalavi menggeleng tak percaya. “Gila, ini ide siapa?”