Antre.
Bukan pemandangan asing. Orang-orang selalu senang mengawali hari di Marzipan, membeli secangkir kopi, cokelat hangat, beberapa cupcake, atau sekadar roti bakar blueberry. Viola bersedekap. Udara khas Bandung masih terasa dingin, bahkan di dalam kedai. Dia berdiri di belakang selusin orang yang berbaris untuk memesan.
Seperti yang dia duga, Olav masih bergelung tidur—mungkin baru bangun pukul 12.00 nanti. Selalu begitu sejak anak itu menginjak semester tujuh. Mentang-mentang mata kuliahnya tinggal sedikit.
Viola memandang sekeliling. Kedai mungil itu temaram, seolah tidak pernah mengharapkan sinar matahari. Kursi-kursi dan mejanya mungil dari kayu jati. Dindingnya selang-seling hitam-kopi dan cokelat tua. Hanya ada satu jendela, yang tertutup gorden tembus pandang. Meskipun begitu, aromanya sangat menyenangkan—campuran susu hangat, kopi, donat, dan croissant. Ada dua orang yang duduk di sudut ruangan—yang satu menyesap kopi dan satu lagi membaca koran.
Viola mengusap-usap dinding bercat cokelat di sebelahnya, tersenyum sendiri. Dia sering berpikir tempat ini pondok di cerita Hansel dan Gretel, yang seluruhnya dibuat dari permen dan cokelat.
Seorang pembeli sudah memesan dan membayar, lalu melewati Viola. Viola tertegun memandang gelas-gelas plastik cokelat dingin yang dipeluk pembeli itu. Banyak banget, pikir Viola panik. Mungkin sekitar sepuluh buah. Viola berjinjit, ingin melihat apakah masih ada cokelat yang tersisa, tapi penglihatannya tidak bisa mencapai dapur yang terletak di belakang meja kasir.
Dia melirik arloji. Pukul 06.30. Masih pagi. Dia maju sedikit demi sedikit, otomatis menoleh setiap kali ada pembeli take away yang hendak meninggalkan kedai.
Begitu Viola sampai tepat di depan meja kasir, dia berkata, “Dark chocolate dingin nggak pakai es sa—”
“Dark chocolate.” Muncul suara di sebelahnya. Viola menoleh, mendapati seorang pemuda berambut lurus agak berantakan, bermata cokelat jernih, dengan tubuh yang satu kepala lebih tinggi darinya.
“Ah, sori,” kata pemuda itu kepada Viola. “Saya datang pukul enam kurang, tapi karena antreannya masih panjang, saya ke minimarket dulu. Saya tadi antre tepat di belakang bapak yang barusan pergi.”
“Maaf, dark chocolate-nya tinggal satu gelas. Tadi siapa ya yang duluan?” tanya pegawai kasir.
Viola tercengang. Dia menoleh ke pemuda di sebelahnya. Siapa yang bisa memastikan pemuda itu berkata jujur?
“Saya, Mbak,” kata Viola buru-buru. “Saya duluan.”
“Sori, tapi tadi saya—”
“Saya juga antre dari tadi,” sahut Viola, tidak bisa menutupi kegalakannya.
“Saya juga,” kata pemuda itu sabar. “Tapi, saya tinggal ke minimarket dulu.”
“Ada yang bisa mastiin?” Viola menyipitkan mata.
Pemuda itu menoleh kepada pegawai kasir. “Mbak, tadi lihat saya kemari jam enam kurang, kan? Saya sudah langganan di sini.”
Pegawai kasir menggeleng. “Maaf, saya nggak ingat. Dan, saya karyawan baru.”
“Saya duluan, Mbak,” kata Viola lagi, kali ini agak panik. Seperti kemarin, dia seolah sudah bisa merasakan cokelat itu di lidahnya. Sungguh menyedihkan kalau hari ini dia tidak bisa mendapatkannya lagi. Dia memandang pemuda tadi dengan sebal.
Mungkin karena tidak ingin berdebat, pemuda itu mundur teratur dan mengangkat tangan. “Oke. Silakan,” ujarnya pasrah.
Viola menghela napas lega begitu memegang gelas plastik dingin berisi cairan cokelat pekat tersebut. Dia tergoda ingin meminumnya sekarang, tapi lalu dia ingat, sekalinya dia meminum cokelat sebelum masuk kerja, dia langsung merasa mengantuk sekitar pukul 09.00.
Sedikit aja nggak apa-apa, pikir Viola. Dirangkupnya gelas itu, dia pejamkan matanya, seolah berdoa agar tidak tergoda meminum sampai habis. Lalu, dia buka tutupnya dan meminum satu teguk.
Hanya satu kalimat yang mampu mendeskripsikan rasa cokelat tersebut.
Feels like taking a path to heaven.
Viola cepat-cepat menutup gelasnya lagi. Baiklah, sabar. Tunggu sampai pulang kerja nanti. Save the best for last.