Heartwarming Chocolate

Bentang Pustaka
Chapter #3

Dark Green House

Meskipun Viola dan teman-temannya baru keluar dari karaoke keluarga pukul 23.00, lalu mengobrol di sebuah cake shop 24 jam dan baru pulang pukul 01.00 dini hari, Viola tetap memaksakan bangun pagi untuk segera melangkah menuju Marzipan lagi.

Dia menguap berkali-kali, bersedekap untuk menghalau udara dingin. Aroma tanah lembap terasa menyenangkan, langit berwarna biru murni. Seperti permukaan blue soda yang kemarin dia minum.

Salah satu lagu dari karaoke kemarin kembali terngiang di kepala Viola. Dan, tanpa sadar Viola ikut bernyanyi. Inilah hal yang paling menyenangkan sekaligus menyebalkan dari karaoke—selalu butuh beberapa hari untuk melupakan lagu-lagu yang mereka nyanyikan. Dan, parahnya, semakin Viola tidak menyukai lagunya, semakin sering pula dia berhalusinasi mendengar lagu tersebut. Sekarang, contohnya.

Viola masih bersenandung begitu berada dekat dengan Marzipan. Aneh. Orang-orang di depan kedai itu bukan mengantre, malah berkumpul dan saling mengobrol dengan tampang bingung. Pintu kedai juga belum dibuka, tidak seperti biasa. Atau, apakah memang sengaja dibuka lebih siang?

Viola mempercepat langkah, melewati orang-orang itu dan menghampiri pintu kedai, ingin tahu apa yang terjadi.

Mulutnya ternganga begitu melihat tanda yang tergantung di sana.

Halo. Kami beri tahukan bahwa mulai hari ini, tanggal 13 Februari 2015, kedai Marzipan tutup untuk seterusnya. Terima kasih atas kebersamaannya selama ini. Kami sangat menghargai kunjungan Anda.

Owner kedai Marzipan. 

***

Tidak.

Ini tidak terjadi, kan?

Mana mungkin kedai Marzipan tutup?

Mustahil. Ini pasti hoax. Mungkin mereka hanya ingin memancing lebih banyak pengunjung—makanya membuat pengumuman kejam seperti ini.

“… sayang banget, ya.” Viola mendengar seseorang di belakangnya berbicara dengan menyesal. “Gue seneng banget ke sini padahal.”

“Tutup mendadak, lagi,” sahut suara lain.

Berusaha keras untuk sadar dari rasa shock, Viola berbalik dan menatap para pengunjung lain.

“Sori … ini beneran tutup?” Dia bertanya, hampir takut mengucapkan kalimat itu.

“Kayaknya, sih, iya, Teh,” kata seorang gadis. “Tadi kita sempat ngintip jendelanya. Udah nggak ada perabotan sama sekali.”

“Tapi … tapi, Marzipan, kan, udah buka sejak tahun 2005,” kata Viola, seolah dengan mengucapkan itu pintu kedai bisa terbuka lagi secara otomatis.

“Kami juga nggak tahu,” kata gadis lain sedih. “Harusnya sebelum-sebelumnya bikin clue, kek, kalau mau tutup, nah, ini nggak sama sekali. Tiba-tiba aja tutup.”

“Harusnya sebelum tutup bagi-bagi donat atau cupcake gratis, gitu, ya,” seorang pria menimpali, membuat semua orang tertawa.

Viola tidak bisa tertawa.

Dia mencoba memastikan ucapan gadis tadi dengan mengintip jendela. Jendela itu masih tertutup gorden putih bunga-bunga, tetapi ada sedikit celah yang terbuka, yang memungkinkan Viola untuk melihat ke dalam.

Astaga¸ batinnya penuh horor.

Kosong.

Kedai itu benar-benar kosong. Kursi-kursi dan meja-meja kayu pelitur sudah tidak ada. Mesin kasir lenyap. Etalase-etalase, pernak-pernik pemanis, kaleng-kaleng cokelat, dan botol-botol sirop—hilang tak berbekas. Hanya ada lukisan lemon shortcake pudar yang tergantung miring di dinding, tampak kesepian tanpa teman. Mungkin pemilik kedai itu lupa membawanya. Atau, mungkin dia memang tidak mau repot-repot mengangkut lukisan jelek itu.

Viola mundur beberapa langkah, memandang bangunan bernuansa cokelat di depannya. Barangkali ini hanya mimpi. Dia memejamkan mata rapat-rapat. Mimpi mimpi mimpi. Begitu dia membuka mata, kedai itu akan buka kembali, menguarkan aroma manis dan hangat seperti biasa, dengan para pengunjung yang duduk di dalam sambil membaca koran atau meminum cappuccino.

Selang semenit, Viola membuka mata.

Kedai itu masih tutup. Orang-orang masih berkerumun. Tanda tutup itu masih tergantung gagah, seolah-olah mengejek mereka yang sudah repot-repot bangun pagi demi datang ke sana.

Tidak masuk akal.

Kenapa kedai itu tutup?

Viola tidak akan terlalu heran kalau Marzipan ada tanda-tanda nyaris bangkrut atau sepi pengunjung sebelum ini, tapi kenyataannya tidak sama sekali. Kedai itu tetap ramai, banyak pesanan, sesuatu yang hanya bisa dilihat pada usaha-usaha kuliner yang sukses.

Kepanikan kembali merayapi Viola. Di mana lagi dia bisa mendapatkan dark chocolate selezat Marzipan?

Lalu, kepanikannya berubah kengerian. Kemarin lusa dia benar-benar ingin menikmati cokelat itu, tapi Olav menghancurkan segalanya—begitu pula kemarin. Hari ini, Viola sudah menumpuk harapan setinggi langit lagi, sudah telanjur mengkhayalkan kenikmatan dark chocolate lagi.

Akan tetapi, kedai Marzipan malah tutup.

Lelucon macam apa ini?

Kerumunan mulai bubar, diiringi embusan-embusan napas kecewa. Viola memandang semua orang itu dengan gamang. Dia sempat bertanya pada salah seorang gadis—yang dia kenali sebagai pelanggan Marzipan juga—sebelum gadis itu melangkah pergi. “Apa mungkin kedainya pindah, ya?” tanya Viola, tak bisa menahan nada penuh harap dalam suaranya. “Barangkali ada tempat baru di mana, gitu?”

“Kurang tahu juga, sih,” kata gadis itu. “Kalau pindah, mestinya ada pengumuman juga. Tapi, nggak ada, kan?”

Viola mengangguk pelan. Ya, tentu saja.

Dia menoleh ke kanan dan ke kiri. Hanya tersisa tiga orang di depan kedai—dirinya dan sepasang suami-istri. Dan, cuma Viola yang berdiri terpaku tanpa tahu harus melakukan apa. Pria tersebut tampaknya tidak langsung pergi karena sedang menelepon dan bicara panjang lebar, sementara sang istri menunggunya.

Viola mengembuskan napas panjang. Apakah sebaiknya dia menunggu saja? Mungkin sebentar lagi si pemilik kedai akan datang, kemudian menjelaskan kepada Viola apa yang sebenarnya terjadi. Atau, lebih baik lagi—mungkin akan ada truk yang mengembalikan semua meja dan kursi ke dalam kedai. Barangkali papan pengumumannya akan dilepas, kemudian diganti dengan reklame bertuliskan: February Mop! Hahaha, gotcha! Kami tetap buka, kok, jangan khawatir.

Akan tetapi, bahkan saat memikirkannya pun, Viola menyadari betapa konyol harapan itu.

Dia kembali mengembuskan napas dan bersedekap. Dia memohon dalam hati—setidaknya, permohonan kali ini agak masuk akal. Atau, malah sangat bodoh? Dia tidak peduli. Penjelasan, hanya itu yang dia butuhkan sekarang. Semoga pemilik kedai beneran datang.

Sepertinya, Viola sanggup berada di sini sampai malam hari, hanya demi menantikan kedatangan pemilik kedai itu.

***

Pada akhirnya, memang ada yang datang. Bukan pemilik kedai, bukan pula sopir truk kontainer, melainkan pemuda yang kemarin nyaris berebut dark chocolate dengan Viola.

Pemuda itu mengendarai motor, berhenti di depan kedai Marzipan. Dia memakai jaket kaus kelabu bertudung, T-shirt hitam, jins.

Dia mendekati pintu kedai. Reaksinya sama persis dengan Viola. Ternganga dan tak percaya.

“Tutup,” kata Viola hampa. Dia duduk di trotoar, mendongak ke arah si pemuda sambil memicingkan mata. Sudah sekitar pukul 09.00. Matahari mulai meninggi. Jauh dalam hati, Viola sadar betapa kurang kerjaan dirinya. Apakah dia akan terus-terusan menunggu seseorang yang kecil kemungkinan akan datang? Seseorang yang bahkan dia tidak tahu berwujud seperti apa?

Pemuda itu menoleh pada Viola.

“Serius?” tanyanya.

Andai saja Viola bisa mengatakan yang sebaliknya. Dia mengangguk pelan.

“Kok, bisa?” tanya pemuda itu lagi.

Viola memberengut. Ya, mana saya tahu. “Saya juga nggak tahu,” gumamnya. “Pokoknya saya udah baca pengumumannya dua puluh kali.” Bukan hiperbola. “Kedai ini memang beneran tutup.”

Pemuda itu memandang kedai dan Viola bergantian, masih dengan ekspresi tidak percaya. Dalam suasana pagi yang mulai cerah, Viola bisa melihat kejernihan mata pemuda itu.

Viola mulai merasa tidak enak. Dia masih agak beruntung karena kemarin sempat menyesap sedikit dark chocolate terakhir, tapi pemuda ini bahkan tidak mendapatkan apa pun. Tidak kemarin, tidak pula hari ini.

“Kenapa tetap di sini kalau tutup?” tanya pemuda itu kemudian.

“Sa … saya nungguin pemilik kedai,” jawab Viola. “Mungkin dia bakal dateng ke sini buat bersih-bersih atau apa gitu ….”

“Oh,” kata pemuda itu, tampak baru teringat sesuatu. “Kenapa nggak ke rumahnya aja?”

Viola menatap pemuda itu bingung. “Rumah siapa?”

“Bu Elisa.”

“Bu Elisa?”

“Pemilik kedai ini. Namanya Bu Elisa.”

Lihat selengkapnya