Minuman cokelat dingin di kedai Marzipan sangat lezat.
Bahan utamanya bubuk cokelat unsweetened, yang mungkin takarannya banyak hingga menghasilkan rasa dark chocolate yang pekat. Samar-samar, orang yang meminumnya bisa mengenali manisnya susu. Tidak membuat eneg, malah memperkaya rasanya. Kadar kepahitannya pun pas. Tekstur cokelat itu lembut, kental, dan jika menginginkannya, bisa pula dihiasi dengan whipped cream. Ditambah balok-balok es yang berdentingan di dalam gelas saat diminum, cokelat itu pun berhasil mewakili slogan kedai Marzipan: feels like taking a path to heaven.
“Vi?”
Viola mengerjap.
Segelas cokelat dingin itu lenyap dari benaknya. Dia menoleh, mendapati Mimi memandang dengan heran. Mata gadis itu melebar di balik kacamatanya. “Ngelamun?”
“Ng … nggak.” Viola menurunkan tangan dari dagu dan membenahi posisi duduknya. Dia bahkan mengusap-usap kepala, seolah khayalan tadi memberikan efek buruk pada kerapian rambutnya.
“Udah selesai, belum, sketsa lo?” Mimi kini duduk di depan Viola, wajah mungilnya tampak gelisah.
Viola mengernyit, memandang sketsa sepasang sepatu oxford yang belum selesai diwarnai hijau mint. “Belum, nih.”
“Gue art block,” sahut Mimi. “Gambar gue ancur banget. Bu Anyelir pasti nggak bakal suka.”
“Yang bener?” Viola menyeringai tidak percaya. Art block versi Mimi adalah masterpiece versi Viola. Awal-awal Viola bekerja di Anyelir’s Shoes ini, dia dengan lugunya percaya saja saat melihat Mimi mondar-mandir galau gara-gara “sketsanya tidak sebrilian yang semestinya”. Begitu melihat sketsa non-brilliant versi Mimi, Viola langsung malu sendiri. Rancangan gadis itu berupa high heels indah dari suede hitam, dihiasi bordiran merah hati dan butir-butir mutiara di tempat yang tepat. Sejak itu Viola berjanji untuk tidak akan pernah percaya lagi pada keluhan Mimi.
“Beneran,” tegas Mimi, mengembalikan sketsa Viola.
“Coba lihat,” Viola menyipitkan mata.
Sementara Mimi mengambil sketsa, Viola menoleh pada grandfather clock, lalu mengeluh sedih. Perasaan dari tadi pukul 14.00 terus, pikirnya. Dia menghela napas, memandang sekeliling untuk menenangkan matanya yang lelah. Dua temannya yang lain sedang berkutat dengan sketsa. Yang satu lagi—Sarah—tampak sangat bosan dan memancangkan matanya pada layar laptop, tidak diragukan lagi “mencari inspirasi” di YouTube. Viola kembali tersenyum geli. Pastilah yang dirasakan Sarah sama dengannya. Sebagaimana pekerja kantoran yang nyaris tidak punya aktivitas selain berangkat pukul 08.00, pulang pukul 16.00, tiba di rumah, makan malam, lalu tidur—Viola pun mulai merasa jenuh.
Bukan berarti dia tidak menyukai tempat ini. Viola sangat menyukainya, malah. Kantor ini benar-benar tipenya. Tidak terlalu banyak karyawan, berada di wilayah Kota Bandung yang sejuk dan dipenuhi deretan kafe manis serta factory outlet. Bagian depan kantor berupa butik sepatu, dengan papan bernuansa kelabu dan ungu. Tulisan “Anyelir’s Shoes” melingkar-lingkar lucu seperti rumah siput di papan tersebut. Bagian dalam butik berisi variasi sepatu yang diletakkan di atas kaca-kaca pipih panjang. Pigura-pigura keramik klasik menyebar di dinding, membingkai kutipan-kutipan seperti “good shoes take you good places” dan “give girl the right shoes and she can conquer the world”. Seakan ingin meramaikan suasana, sarung-sarung tangan beledu dan variasi kaus kaki wol berjajar di rak-rak mungil di berbagai sudut.
Kantor Viola berada di Lantai 2. Suasananya lebih terang daripada butik di bawah karena jendela di empat sisinya selalu terbuka lebar. Dinding-dindingnya pun selang-seling ungu dan kelabu, dipenuhi chalkboard yang ditempeli sketsa sepatu, selebaran-selebaran fashion event, sampai selebaran menu makanan dari kedai-kedai terdekat. Masing-masing karyawan diberi satu unit laptop, beberapa set peralatan menggambar, meja jati, dan single couch linen.
Apa coba yang tidak bisa disukai dari kantor seperti ini? Viola sendiri yakin kejenuhannya hanya akan berlangsung sekejap. Dia cuma butuh sedikit liburan, dan dia sudah mempertimbangkan untuk mengajukan cuti.
Lalu, terlintas oleh Viola bahwa dia tidak tahu harus berlibur ke mana, tidak tahu juga harus mengajak siapa. Dia mengernyit muram. Bagian yang kedualah yang tersulit. Berlibur sendirian akan membuatnya kebingungan, dan dia pun sama sekali tidak berminat mengajak pergi adik laki-laki semata wayangnya. Anak itu hanya akan merepotkan.
Mengajak orangtuanya pun mustahil.
Nanti ajalah dipikirin lagi, gumamnya dalam hati, sambil kembali mewarnai sketsa oxford shoes. Dia tersenyum saat teringat bahwa setidaknya, dia masih punya mood booster. Setiba di rumah nanti, dia akan langsung menghambur ke kulkas, membuka pintunya, merasakan udara dingin dari dalamnya, lalu mengambil secangkir besar cokelat dingin yang tadi pagi dia beli di Marzipan. Ini akan menjadi hari yang indah.
Mimi kembali dengan membawa sketsanya. “Nih.”
Viola memeriksa sketsa tersebut dan mendesah takjub. “Lo selalu gitu, deh.” Dia mengusap warna pink pucat pada sepasang fashion boot. “Lagi art block aja bisa bikin sepatu kayak gini, gimana kalau nggak art block? Bu Anyelir sih, bakal langsung ACC. Taruhan mi ayam Mas Joko.”
“Taruhannya pelit amat,” gumam Mimi. Viola terkikik sambil mengembalikan sketsa Mimi. Wajah Mimi kini tampak lebih senang. “Eh, entar main ke PVJ, yuk,” kata Mimi. “Gue bakal ajak Sarah juga.”
“Lo berdua aja. Gue rencana langsung pulang. Gue nggak sabar pengin minum cokelat Marzipan.”
“Astaga, lo belinya tiap hari, ya?” Mimi berdecak tidak percaya.
“Enggaklah. Paling seminggu dua kali.” Viola memejamkan mata rapat-rapat, seolah berharap untuk bisa ber-apparate dan sampai di depan kulkas dalam waktu sekejap. “Kok, bisa, ya, ada cokelat selezat itu?” Saat dia membuka mata, dia melihat Mimi menggeleng-geleng geli kemudian melangkah kembali ke mejanya.
Viola kembali mengerling grandfather clock. Pukul 14.30.
Dia melanjutkan menggambar, berusaha tetap bersemangat, meskipun cokelat itu seolah sudah bisa dia rasakan di lidahnya.
***
Pukul 16.00, Viola segera berkemas, berpamitan pada teman-teman kantor, lalu memelesat menuju rumahnya yang tidak jauh dari Anyelir’s Shoes. Dia beriringan dengan pejalan kaki lain—yang pastilah kebanyakan berasal dari luar kota. Jalan Riau di Bandung itu ironisnya lebih banyak dikunjungi mobil berpelat B daripada D.
Viola berbelok ke gang yang lebih sepi. Dia melangkah, menoleh sekilas pada kedai Marzipan yang sudah tutup. Kedai temaram bernuansa cokelat tua itu hanya buka pukul 06.00 sampai 12.00.
Viola melepas oxford shoes cokelatnya setiba di teras rumah, lalu merogoh tas. Butuh waktu lima menit untuk mendapatkan kunci yang entah bagaimana terselip di dalam bungkus tisu basahnya. Dia segera membuka pintu, masuk, lalu berjalan cepat ke depan kulkas.
Bagian ini merupakan yang terbaik dari semuanya. Seperti biasa, dia akan menjalankan tahapan prosedur berikut:
1. Membuka pintu kulkas dengan perlahan,