Pelanggan cafe hari ini cukup sepi, ya, tak apa, namanya juga usaha. Tak setiap hari ramai pengunjung. Walaupun sepi, tugasku hari ini mengerjakan pekerjaan Merri, karena Pak Hendra dan istrinya harus pergi ke rumah sakit untuk check up, Merri lah yang mengganti di posisi kasir.
"Praha?" ucap seorang wanita dengan rambut coklat panjang sepinggul.
"Iya? Kok kenal saya? Oh-" jawabku.
"Kamu bener gak ingat aku?" tanya wanita itu.
"Hm, tidak." ucapku singkat sembari menata gelas agar rapi.
"Baranina." wanita tersebut menjabat tanganku.
"..."
"Aku yang dulu nenangin kamu di pengadilan karna kamu nangis, aku Nana."
Aku terdiam, kaku dan membisu, mentap wanita di depanku. Dari atas hingga bawah, dan dari bawah hingga atas. Kutatap kedua matanya yang tengah memakai softlens berwarna coklat terang senada dengan warna rambutnya. Kedua matanya sama persis dengan tatapan Nana kala itu, Nana dengan senyuman manis yang menenangkan di pengadilan delapan tahun yang lalu. Nana yang memelukku saat aku histeris dan memukul tembok pengadilan hingga tanganku berdarah.
Nana, ia anak dari hakim yang tengah mengurus sidang perceraian ibu dan bapak delapan tahun lalu. Aku yang masih berusia 12 tahun tersebut sontak saja histeris, menerima kenyataan bahwa bapak memilih wanita lain daripada ibu, perkara ibu yang sakit-sakitan, bapak memutuskan untuk berpisah dan meninggalkanku pun juga ibu.
Nana, yang kala itu sedang membaca komik fabel, menghampiriku dengan segera saat aku tengah melampiaskan amarah pada tembok yang tak bersalah. Kedua tanganku leban memar hingga mengeluarkan darah. Tangisku tak bisa kubendung, amarahku memuncak, bapak yang melihatku pun tak mempedulikan keadaanku. Nana, ia berteriak agar seseorang menghentikan aksiku, dan tak lama kemudian, orang-orang keluar dan membawaku pergi dari pengadilan, pun hari pertama dan terakhirku bertemu Nana.
"Kamu yakin? Kamu Nana?" tanyaku ragu.
"Bagaimana kedua tanganmu? Masih sering memukul tembok yang tak bersalah?"
Dari sana, aku yakin bahwa Baranina adalah Nana delapan tahun yang lalu, ia tetap mungil, tetap cantik dan sopan. Namun ia berkata, bahwa ia biasa dipanggil Rani, Nana adalah nama yang kuberikan, kata dia.
Merri dan Kevin pun tak memahami kejadian hal ini, saat cafe sepi. Aku, Baranina, Merri dan Kevin duduk untuk ku ceritakan kejadian ini. Cukup sedih jika mengingat apalagi menceritakan hal ini kembali. Namun, aku harus kuat dan tegar untuk menghadapinya, usia ku sudah menginjak kepala dua, dan kejadian delapan tahun yang lalu harus kujadikan pembelajaran agar tak pernah terulang kembali dalam hidupku.
"Gue gak nyangka lo pernah ngalamin hal ini, Wan." ujar Merri.
"Kamu jangan sedih, kamu masih punya kita, ya?" sambung Kevin.