Hedorâ Line

Jasmin Fahma Aulia
Chapter #3

Gerbang Penderitaan.

 “Tidak! Aku takkan mempercayai siapapun lagi! Takkan pernah!”

“Dia bisa melakukannya! Aku yakin! Percayalah padaku!”

“Cukup! Berapa lagi yang harus dijadikan tumbal disini?!”

“berharaplah Seith adalah yang terakhir!”

“Berharap tanpa hasil itu menyiksa. Dengar aku Hobart, aku mengasihani nyawanya. Dia lebih baik menjadi geladangan diluar sana daripada berada disini.”

“Lalu kapan kita akan mendapatkan itu? Bukankah itu yang kau dan kita semua inginkan?”

“kau tahu? Aku lebih baik mengubur mimpi itu dalam dalam daripada mendorong anak-anak tidak bersalah kedalam jurang kematiannya.”

~”~”~”~”~”~”~”~”~”~”~

Zephyr Atleda. Itulah nama pemuda itu. Dia cukup culun jika dibandingkan dengan anak berumur 15 tahun lainnya. Tapi rasa ingin tahunya yang besar membuatnya cukup pintar diantara teman temannya. Dia masih saja bertanya-tanya mengapa ibunya menyekolahkannya disini. Sekolah itu terlihat sangat kuno dan gelap meski matahari hampir tak pernah tertutupi awan disana. Bangunannya tampak sangat tua meski mau tidak mau, Zephyr mengakui kekokohan bangunannya.

Anehnya, makanan hampir tak pernah dihidangkan disana, padahal sekolah itu sekolah berasrama, dan tak ada yang memprotesnya. Zephyr seringkali terpaksa berpuasa atau memakan apapun yang ada di kebun sekolah yang baginya terasa hambar.

Asal mula sekolahnya pun masih menjadi misteri, dia tak pernah mendengar tentang nama sekolahnya Dia memilih kelas Sains karena menurutnya kelas itulah yang termudah. Dia menyusuri lorong menuju suatu tempat selepas jam pelajaran. Dia menoleh kearah kelas bahasa, murid lain tampak serius, dia sempat mencibir sebelum melanjutkan perjalanannya.

Dia membuka pintu yang terbuat dari kayu Oak putih itu dan menghela nafas melihat keadaan ruangan dibaliknya yang sangat berantakan. Dan yang paling mengesalkan adalah, hanya barangnya yang tidak terletak pada tempatnya. Untung saja dia belum pulang. Biar kurapikan kekacauan ini. Pikirnya sambil mulai menata kembali barang barangnya. 30 menit berlalu, akhirnya Zephyr berhasil menata kembali barang barangnya ke tempatnya. Tepat saat dia merapikan alat tulisnya, pintu kamarnya berderit dan seorang pemuda jangkung berwajah putih berdiri di depan pintu itu. Mata hijaunya tampak jelas terlihat dibalik poni rambutnya yang kelewat pajang, dia menghela nafas dan tersenyum, “merapikan barangmu lagi, kawan?”

Zephyr mengangguk, “pulang terlambat, Hedric? Apa lagi kali ini?” tanya Zephyr setelah dia menyimpan gelas berisi alat tulisnya di meja yang ada disana. Hedric mengangkat bahu dan duduk di ranjangnya, “kerusuhan, seperti biasa.” Zephyr menoleh ke arah teman sekamarnya “oh ya? Siapa kali ini?” Hedric menatap keluar jendela “Lincoln menendang Agetha. Membuat keributan di lorong sekolah, padahal seingatku mereka teman baik.” Zephyr tampak bingung “lalu apa hubungannya denganmu?” temannya menoleh ke arahnya dengan tatapan sombong “seperti biasa, Hedric si penyelamat ini harus melerai mereka.” Zephyr mendengus kesal dengan senyuman di wajahnya “terserah!”

“aku lebih sering terlibat dengan pertikaian lebih sering dari yang kau duga. Memang hanya kau yang bisa berurusan dengan kelas lain?” Zephyr mencibir dan berpangku tangan, dia menunjukkan kekesalan yang terpendam “hey, ada apa? Wajar saja kelas bahasa menegurmu! Saat kau datang, bahasamu benar benar kacau.” Zephyr menghela nafas “terserah. Aku sudah muak diomeli anak-anak sastra itu. Ucapan mereka seperti novel. Terlalu panjang untuk dimengerti otakku.” Hedric menggeleng lalu berdiri menghadap jendela. Matahari tampaknya sudah terbenam, dia tersenyum tanpa sebab.

~”~”~”~”~”~”~”~”~”

 “Zephyr Atleda! Nilaimu sempurna lagi. Kurasa kami tidak sia-sia menaruh harapan padamu, nak,” ujar guru Kimia yang bernama Bu Fia itu. Zephyr maju dan menerima hasil ujiannya tanpa perasaan yang berlebihan. “hey Atleda! Nilai sempurna lagi? Aku heran mengapa orang bodoh sepertimu bisa mendapat nilai sempurna disetiap ujian,” ujar Lincoln dengan nada yang melecehkan. “jangan berkata seperti itu, Lincoln…” ujar seorang murid perempuan yang tiba-tiba saja menangis setelah menyadari Zephyr menoleh kearahnya. Lincoln yang melihat hal itu mendengus kesal, mulutnya menggerutu tidak jelas. Zephyr menghela nafas dan kembali ke bangkunya. Satu lagi hal aneh.

“baiklah semuanya, ibu merencenakan adanya kelas tambahan untuk mata pelajaran kimia. Jadi, ibu sangat mengharapkan kehadiran kalian semua terutama yang memiliki nilai yang kurang tinggi besok pukul 7 pagi di kelas ini. Jelas?” setelah semua murid menjawab pertanyaan gurunya, Bu Fia membubarkan kelas itu. Zephyr membereskan barang-barangnya dan memangkunya di kedua lengannya. “Zephyr,” panggil seorang siswi yang berjalan mendekatinya. “ada apa, Agetha?” gadis bernama Agetha itu tampak ingin mengatakan sesuatu, tapi dia menggeleng dan tersenyum “tidak, hanya ingin mengatakan selamat atas nilai sempurnamu yang ketiga kalinya. Baiklah, duluan ya!” Zephyr mengangguk canggung dan segera keluar kelas menuju kamarnya.

Lihat selengkapnya