Dia membuka pintu perpustakaan secara perlahan. Namun dia memandang ruangan yang berbeda. Rak-rak buku yang seharusnya berderet kini merapat ke setiap dinding hingga menutupi jendela jendela. Hanya ada satu meja dan sepasang kursi yang berhadapan di tengah ruangan. Seorang pemuda menunggu disana, melirikkan pandangan kearah Zephyr. “Z! Sudah kuduga kau akan datang.” Zephyr menghela nafas, dan mendekatinya, lalu duduk di kursi yang kosong dihadapannya. Hedric memasang wajah yang sangat tenang padahal Zephyr sangat yakin yang membawanya ke kamar adalah dia.
“jadi, apa yang ingin kau bicarakan?” tanya pemuda itu sambil mengetuk ngetuk jari telunjuknya ke meja. “jam berapa sekarang?” ujar Hedric membelokkan pembicaraan, Zephyr tidak mendengar suara jam besar yang seharusnya ada di ruangan itu, tapi dia ingat waktu saat itu, “pukul 00.30 kurasa. Jadi, aku serius. Kau ingin membicarakan apa?” Hedric tersenyum dan mengeluarkan sebuah buku. Buku tipis yang tampak tua terbuka di tengah-tengahnya, lengkap dengan pulpen besi berkarat yang memancarkan aura mistis. Zephyr bingung. “kau mau aku melakukan apa dengan buku ini?” mimik wajah Hedric berangsur-angsur berubah. “Zephyr Atleda. Kurasa sudah saatnya kau mengetahui ini. Semua hal disini lebih rumit daripada yang kau bayangkan.”
Zephyr mengangkat sebelah alisnya, tangannya lantas membuka-buka halaman sebelumnya dari buku itu, beberapa tanda tangan dibubuhkan disana. Namun hanya beberapa tanda tangan yang dituliskan nama di atasnya; Seith, Higa, Ruther, Chris, dan Aurumm. Itu saja.
“hanya orang orang ini yang menerima tantangan kami. Yang lainnya menolak dan turun gunung. Apa kau akan menerima ini juga?” Zephyr semakin bingung dengan pernyataan Hedric “me… menerima apa?” ujarnya gagap. Hedric menyunggingkan senyuman tipis. “kurasa kau belum, bukan. Tidak ingin menyadarinya.” Zephyr mendegus kesal, seraya menyuruh Hedric untuk berhenti bicara berputar putar. “benar bukan? Kau melihat semuanya. Sudah sulit untuk menutupinya sekarang. Izinkan aku berbicara. Tempat ini bukan sekolah.”
Zephyr mengangkat sebelah alisnya, “apa maksudmu?”
“tempat ini adalah gerbang penderitaan. Jika kau memenuhi tantangan, kau akan memasuki dunia yang penuh penderitaan, tapi dengan itu kau akan membantu kami. Kalau tidak, kau bisa pulang, dan anggaplah semua ini tak pernah terjadi.” Hedric tersenyum, wajah Zephyr yang bingung seolah olah lucu di pandangannya. “apa maksudmu dengan penderitaan? Tantangan apa? Kalau pun aku menolak, kenapa aku harus pulang dan melupakan semua ini? Siapa kau sebenarnya?!” Zephyr mulai merasa gelisah, Hedric mengulurkan tangannya “kurasa kau tak sadar saat pertama kali kita bertemu, mari kita mulai dari awal, kenalkan, namaku Hedric Hobart.” Zephyr masih bingung, namun lengannya bergerak menyambut uluran itu. “salam, aku—” Zephyr menatap tangannya yang berjabat tangan dengan Hedric dengan mata terbelalak, seakan tak percaya dengan hal itu.
Tangannya melemas, wajahnya pucat pasi, namun lawan bicaranya hanya tersenyum dengan wajah yang menunjukkan kekhawatiran, saking paniknya, Zephyr tidak menyadari meja dan kursi yang semula di dudukinya menghilang. “si… siapa? Makhluk apa k…kau?” Hedric menatap tangannya, “benar, Z. seperti yang kau rasakan. Aku bukan manusia. Setidaknya bukan lagi.”
~”~”~”~”~”~”~”~”~”~”~