Hei, Witch!

Ayu Nuru Syarifah
Chapter #1

Prolog

TERDENGAR SUARA percikan api berulang kali dari balik tubuh Ayah yang sedang menyimpan beberapa kayu bakar pohon konifera tua secara bertumpuk di perapian, yang kemarin dibawakan paman Ham pada kami. Ini semua karena tubuhku yang lemah, jadi Ayah dan Ibu harus memberikan kehangatan ekstra di musim dingin. Jika saja penyihir itu tidak murka, mungkin aku bisa bermain di luar dengan Khanza tanpa takut kedinginan dan demam pada malam harinya. Namun, apa yang sudah terjadi maka akan terjadi. Aku tidak dapat merengek untuk meminta diputar ulang waktu, agar dapat berdiskusi dan menahan emosi dengan warga, supaya penyihir tidak naik pitam dan mengubah pulau Glomera menjadi musim dingin bersalju.

"Ini akibatnya jika kita terlalu banyak meminta, Nak." Ayah bangun dari duduk, berjalan mendekat ke arah rak buku dan mengambil salah satunya di sana. "Kalau bisa sedikit bersabar, mungkin ratu dapat berbaik hati."

"Penyihir itu kejam, Yah. Hanife kemarin pergi dengan keluarganya, tahun ini ada Hamzah, lalu selanjutnya pasti kita, kan? Apa yang seperti itu dianggap dapat berbaik hati?" tanyaku, melipat kedua tangan di dada. Kemarin, keluarga Nozu mati menjadi persembahan pada Death Day atau Hari Kematian untuk penyihir itu. Mereka rela duduk di tengah lapangan kemudian membiarkan penyihir itu mengucapkan rapalan, sehingga tubuh mereka terbakar dan akhirnya menjadi butiran abu. Keluarga Nozu yang termasuk temanku—Hanife Nozu, lenyap hari itu. Terlalu banyak kehilangan, sampai aku merasa ratu pulau Glomera, si penyihir itu, sudah tak waras lagi.

"Memangnya kita bisa apa, Ra?" tanya Ibu, datang dari arah dapur membawa ubi rebus di atas nampan, berjalan mendekat dan duduk di sebelahku. Ibu tetap terlihat cantik di umurnya yang sudah menginjak kepala tiga. Kulitnya putih pucat serta rambut hitam legam yang lurus. Kerutan-kerutan lelah sudah tampak di wajahnya, tapi itu tidak membuat Ibu terlihat lemah. "Meski merengek tidak mau, kita tidak punya kekuatan untuk bilang dan mengelak atas apa yang telah terjadi."

"Jadi kita harus pasrah saja?" Aku mendengkus. "Apa kita harus menyerah di tangan penyihir itu dan mati seperti keluarga Nozu?"

"Bukankah Ayah sudah bilang kita harus bersabar?" Ayah menoleh padaku.

Lihat selengkapnya