Scene 1: The Butcher’s Court Lokasi: Gudang 4 - Pelabuhan Tanjung Priok (Wilayah South Sea Clan) Waktu: 23:30 WIB
Udara di Gudang 4 rasanya tebal, lengket, dan bau. Campuran aroma solar, ikan busuk, garam laut, dan sesuatu yang lebih tajam—ketakutan manusia.
Di tengah gudang yang remang-remang itu, di bawah sorotan lampu gantung yang berkedip-kedip mau mati, Ferdy "Mabok" Antonio duduk di atas tumpukan peti kayu. Dia memegang botol Jack Daniel's yang isinya tinggal seperempat. Kemejanya kancingnya terbuka sampai perut, memamerkan tato naga laut pudar di dadanya yang kurus tapi berotot kawat.
Di depannya, seorang anak buah bernama Ujang berlutut. Wajahnya babak belur, bibirnya pecah.
"Jadiii..." Ferdy bicara dengan nada menyeret, matanya setengah terpejam seolah mau tidur. Dia mengayun-ayunkan botolnya pelan. "Loe bilang... loe nggak ngomong apa-apa sama si Pak Tua Huang?"
"Sumpah, Bos... Sumpah demi Tuhan..." Ujang menangis, air mata bercampur darah menetes ke lantai beton yang berminyak. "Gue nggak bocorin soal kapal Naga Laut... Gue cuma main judi di lapak dia..."
Ferdy terkekeh. Suaranya kering, seperti gesekan amplas kasar. Dia turun dari peti kayu itu, langkahnya sempoyongan. Kiri, kanan, nyaris jatuh, tapi entah bagaimana selalu seimbang di detik terakhir. Gaya jalan pemabuk yang menipu mata.
Dia merangkul pundak Ujang, akrab sekali, kayak sohib lama yang mau ngajak karaoke. Bau alkohol dari napas Ferdy menyengat hidung Ujang.
"Gue percaya kok, Jang. Gue percaya," bisik Ferdy lembut. Tangan kirinya menepuk-nepuk pipi Ujang yang bengkak. "Loe kan anak buah gue yang paling rajin. Paling setia. Masa sih loe jual gue ke pengemis bau tanah itu cuma buat bayar utang judi?"
Ujang mengangguk panik, secercah harapan muncul di matanya. "Iya, Bos! Bener! Gue setia mati sama South Sea!"
"Setia mati..." Ferdy mengulang kata itu, seolah mencicipinya. "Mati."
PRANG!
Gerakan itu terlalu cepat untuk diikuti mata mabuk. Ferdy menghantamkan pantat botol Jack Daniel's ke tiang besi di sebelahnya. Pecah. Menyisakan leher botol dengan ujung kaca bergerigi tajam.
"Kalo gitu, buktiin."
JLEB.
Tanpa aba-aba, tanpa teriak, tanpa emosi. Ferdy menancapkan pecahan botol itu tepat ke samping leher Ujang. Arteri karotis putus seketika.
Darah menyembur deras, hitam pekat di bawah lampu remang, muncrat ke wajah dan dada Ferdy. Ujang menggelepar, suaranya tercekik gurgling mengerikan saat dia mencoba menahan darah dengan tangan gemetar.
Anak buah lain yang berdiri mengelilingi mereka mundur selangkah, ngeri. Tapi Ferdy? Dia malah tertawa. Tawa yang pecah, gila, dan melengking. Dia membiarkan darah Ujang memandikannya.
"Tuh kan! Dia bohong!" teriak Ferdy ke mayat yang masih kejang-kejang itu. "Katanya setia mati! Baru ditusuk dikit udah mati beneran! HAHAHAHA!"
Ferdy melempar sisa botol itu ke sembarang arah. Dia mengusap wajahnya yang basah oleh darah, lalu menjilat jarinya. Amis.
Mata Ferdy yang tadi sayu sekarang terbuka lebar. Pupilnya mengecil, liar, bergetar. Adrenalin dan alkohol di darahnya menciptakan koktail kegilaan murni.
"Buang sampah ini ke laut," perintah Ferdy datar. Mood-nya berubah instan dari ketawa jadi dingin. "Dan pastiin penjagaan diperketat. Hidung gue nyium bau sabun wangi. Ada tamu yang mau dateng."