Heir of Shadows

R. Rusandhy
Chapter #17

THE NET TIGHTENS

Scene 1: The Wounded Wolf Lokasi: Toilet Pria Gedung C - JIFU Waktu: 09:00 WIB (H+1 Paska Kematian Ferdy)

Cermin di atas wastafel memantulkan wajah Darren Liem yang pucat. Di bawah cahaya lampu neon putih yang steril, lingkaran hitam di bawah matanya terlihat kontras. Kurang tidur. Dehidrasi. Dan rasa sakit yang konstan.

Darren membuka dua kancing teratas kemeja flanelnya. Di balik kaos dalam putih, bahu kiri dan sebagian lengan atasnya dibebat perban tebal yang mulai merembes cairan kekuningan bercampur darah. Di bawah perban itu, kulitnya melepuh merah kehitaman—oleh-oleh dari semburan api alkohol Ferdy Antonio.

"Shh..." desis Darren saat dia mencoba menggerakkan lengan kirinya.

Rasanya seperti ada kawat berduri yang ditarik di bawah kulitnya. Luka bakar derajat dua. Belum sampai tulang, tapi cukup dalam untuk merusak jaringan saraf permukaan.

Dia mengeluarkan botol kecil tanpa label dari saku celana. Isinya Tramadol dosis tinggi yang dia "pinjam" dari stok medis bunker Paman Tjandra pagi tadi. Dia menelan dua butir tanpa air. Pahit.

"Fokus, Liem," bisiknya pada pantulan di cermin. "Loe bukan di medan perang. Loe di kampus. Loe cuma mahasiswa yang kecapekan begadang ngerjain tugas."

Masalahnya bukan cuma rasa sakit. Masalahnya adalah maintenance. Luka bakar butuh ganti perban tiap 6 jam biar nggak infeksi. Stok di bunker isinya cuma combat gauze (kasa tempur) yang kasar. Semalam, dalam perjalanan pulang dari Priok, dia terpaksa mampir ke apotek 24 jam di daerah Fatmawati buat beli salep Bioplacenton dan perban steril yang lebih lembut.

Sebuah kesalahan kecil. Tapi bagi orang seperti Hansen, kesalahan kecil adalah jejak kaki di atas salju.

Darren mengancingkan kembali kemejanya. Dia memakai kembali kacamata bulatnya. Dia memaksakan senyum—senyum canggung, polos, dan tidak berbahaya. Topeng terpasang.

Darren keluar dari toilet, melangkah ke koridor yang ramai. Mahasiswa JIFU berlalu-lalang dengan outfit jutaan rupiah. Namun, ada yang salah hari ini. Darren merasakannya di tengkuk lehernya. Bulu kuduknya berdiri. Bukan karena AC koridor yang dingin.

Tapi karena The Gaze. Sensasi diawasi.

Darren berhenti pura-pura mengecek HP. Matanya melirik ke sudut atas pilar gedung, ke arah CCTV kampus. Lampu indikator CCTV itu biasanya berkedip merah pelan. Hari ini, lampunya hijau solid. Active Monitoring Mode. Seseorang sedang menonton secara real-time.

"Bukan satpam kampus," batin Darren. "Satpam di sini sibuk main slot. Siapa pun yang megang kendali kamera itu... mereka nyari sesuatu."

Darren menundukkan kepala, membaur dengan arus mahasiswa. Perburuan sudah dimulai.

Scene 2: Hansen’s Method (The Algorithm) Lokasi: Mobile Command Center (Van Hitam) - Parkiran Gandaria City (Basement P3 Sepi) Waktu: 10:30 WIB

Di sudut gelap basement Gandaria City yang jarang dilewati mobil, sebuah van hitam parkir dengan mesin menyala halus. Lokasi ini strategis—cukup dekat dengan JIFU untuk respon cepat, tapi cukup ramai untuk menyamarkan keberadaan mereka.

Di dalam van, Hansen Nugroho duduk di kursi ergonomis. Di sebelahnya, segelas kopi hitam sudah dingin.

"Status pencarian medis?" tanya Hansen tanpa menoleh.

Seorang teknisi East Wing dengan headset tebal menjawab. "Kami sudah menyisir data transaksi apotek 24 jam. Radius dipersempit ke area Jakarta Selatan, jalur pulang dari Priok menuju BSD. Keyword: Burn Gel, Salep Luka Bakar, Kasa Steril."

Hansen menghisap cerutunya. "Si Pembunuh itu profesional, tapi dia manusia. Luka bakar Ferdy itu luas. Dia butuh lebih dari sekadar P3K standar. Dia butuh salep khusus dalam jumlah banyak."

"Filter transaksi tunai jam 03:00 sampai 04:30 pagi tadi," perintah Hansen.

Lihat selengkapnya