Heir of Shadows

R. Rusandhy
Chapter #19

LIKEABLE ANTAGONIST

Scene 1: The Concrete Tomb Lokasi: Lantai 3 - Gedung Konstruksi Mangkrak Waktu: 14:30 WIB

Gedung itu adalah kerangka raksasa. Lantai beton telanjang yang dingin, tiang-tiang pancang yang mencuat seperti tulang rusuk patah, dan debu semen yang menggantung di udara. Gelap, lembap, dan sunyi—kontras total dengan bisingnya jalan raya di luar.

Darren tersandar di balik pilar beton besar. Napasnya terdengar seperti orang yang tenggelam. Hhh... hhh... hhh...

Dia melihat ke bahu kirinya. Kemeja flanelnya sudah basah total oleh darah yang merembes keluar, bercampur dengan keringat dingin. Perban yang dia pasang pagi tadi sudah geser, menampilkan daging merah yang melepuh dan sekarang tergores aspal akibat jatuhan dari motor tadi.

"Sial..." desis Darren. Setiap detak jantung mengirimkan gelombang rasa sakit yang menyengat sampai ke leher. Tangan kirinya gemetar tak terkendali. Motorik halusnya hilang. Dia tidak bisa menggenggam jarum bius dengan tangan itu.

Darren merobek lengan kemeja kanannya dengan gigi. Dia mengikatkannya kuat-kuat di atas luka bahu kiri—tourniquet darurat untuk menekan pendarahan. Dia menggigit kerah bajunya untuk menahan teriakan saat dia menarik simpul itu kencang. "Mmphh!!"

Pandangannya berkunang-kunang. Stamina: 10%. Darah: Hilang banyak. Senjata: Satu pisau lipat taktis, dua jarum bius (di saku kanan). Musuh: Satu peleton tentara bayaran elit dan satu komandan hantu.

Darren memejamkan mata sejenak, mengatur napas dengan teknik Box Breathing yang diajarkan Paman. Tarik 4 detik... Tahan 4 detik... Hembus 4 detik... Tahan 4 detik. Detak jantungnya melambat. Rasa paniknya surut, digantikan oleh kejernihan yang dingin.

Dia bukan lagi mangsa yang lari. Dia adalah Liem. Dan Liem tidak mati di gedung mangkrak.

Tiba-tiba, suara getar memecah keheningan. Bzzzt... Bzzzt...

HP-nya. Layarnya retak seribu, tapi masih menyala. Nomor tidak dikenal. Bukan nomor Paman. Bukan Andrea.

Darren menatap layar itu. Dia tahu siapa ini. Hansen tidak perlu berteriak pakai megaphone. Dia punya data. Dia punya nomor.

Darren menggeser tombol hijau, lalu menempelkan HP itu ke telinga kanannya. Dia tidak bicara. Dia menunggu.

Scene 2: The Gentleman’s Offer Lokasi: Lobi Gedung (Ground Floor) Waktu: 14:32 WIB

Di lobi gedung yang luas dan penuh puing, Hansen Nugroho berdiri santai. Dia tidak memegang senjata. Sig Sauer-nya masih di sarung pinggang. Dia memegang HP di telinga kiri, sementara tangan kanannya menjepit cerutu yang menyala.

Di belakangnya, enam anggota tim Alpha bersiaga dengan Night Vision Goggles dan senapan HK416, moncong senjata mengarah ke tangga dan lift shaft.

"Sakit, Nak?" suara Hansen terdengar tenang, bergema sedikit di lobi kosong itu, tapi juga terdengar jernih di telinga Darren tiga lantai di atas.

Darren di lantai 3 menyeringai tipis, meski wajahnya pucat. "Cuma digigit nyamuk," jawab Darren serak. "Nyamuk loe lumayan gede, Pak Tua. Sayang motor gue."

Hansen terkekeh pelan. Tulus. "Motor itu gampang diganti. Nyawa? Nggak ada suku cadangnya di Glodok."

Lihat selengkapnya