Jvuhana.
Tanah surgawi yang menjadi bulan-bulanan tiada henti, tak peduli jika badai tak sedang mengintip dari balik awan-awan putih.
Bagaimana tidak? Setelah digadang-gadang sebagai utopia pada era Limche, tempat itu justru jadi yang pertama menyalakan tahnan, lampu eksekusi.
Eksekusi?
Tenang. Semuanya baru dimulai.
Surga yang berdiri atas idealisme fana itu pernah menarik begitu banyak atensi. Kaya maupun miskin, jelata maupun Borjuis, seratus orang setiap tahunnya datang dari penjuru negeri untuk melihat bagaimana energi kinetik jarum jam diubah menjadi listrik, momen khidmat para peserta haphari menunggu matahari terbit, serta perpustakaan terlengkap yang dibangun keluarga Borjuis paling berpengaruh di masa itu.
Namun, tak selamanya yang berlapis emas tampak berkilau di mata sesama Borjuis.
Pasangan berdarah biru dari tempat lain menemukan rahasia yang terselip di salah satu rak buku. Nahas, rahasia itu lalu terkubur bersama raga mereka, jauh dari mata para penduduk.
Senyap. Pemakaman pasangan berdarah biru itu hanya dihadiri enam putra mereka, yang masih berusia belasan tahun. Hanya dalam seminggu sejak kepindahan mereka, enam putra dari pasangan tersebut telah menjadi yatim piatu.
"Kita bunuh mereka sebagaimana mereka membunuh Ayah dan Ibu."
Satu titah dari laki-laki berambut merah yang semerah kobaran api di tatapannya mengundang anggukan dari lima laki-laki yang berjajar di samping kanan dan kirinya.
Duka telah menorehkan amarah di benak mereka sepekat warna hitam yang melukis nama di dua batu nisan itu. Sebuah stimulus yang ampuh untuk mereka mengukir 'prestasi' dengan beragam informasi dan keahlian fisik dari lahir.
Malang, kebencian membabi buta mereka berujung pada terucapnya sebuah kalimat terkutuk dari seorang penyihir wanita yang bersekutu dengan keluarga pendiri perpustakaan itu.
"Mungkin ... aku ... akan mati .... Tapi kalian ... Keluarga Edward ... akan musnah pada gerhana matahari total kesepuluh ... jika kalian tak mendapatkan darah gadis yang mampu mengendalikan Kekuatan Mirah!"
Itulah sumpah sang penyihir wanita sebelum raganya berubah menjadi kabut hitam, menyebabkan pedang perak yang menghunus jantungnya tergeletak di rumput begitu saja.
Selama bertahun-tahun, Edward bersaudara hidup bernaung dalam dendam dan ketakutan. Paras rupawan mereka yang tak mengeriput hingga tiga dekade membuat mereka bolak-balik bersembunyi sembari menyaksikan bagaimana dunia di sekeliling mereka berevolusi. Tak jarang mereka menggunakannya untuk memancing orang-orang masuk ke kastel megah mereka hanya untuk membebaskan mereka dari sebuah kutukan yang datang bersama perginya harapan mereka untuk sebuah bayaran yang adil.
Upaya tak berkesudahan mereka nyaris mencapai puncak keputusasaan hingga suatu hari, di sebuah malam yang dingin ....
Brak!
"Aw!"
Pekikan seorang gadis menghentikan langkah seorang laki-laki berambut hitam, yang sedang berjalan di lorong sambil membaca buku. Bersama dengan ditutupnya buku itu dengan sedikit kencang, tatapan jenuhnya mengarah pada laki-laki berambut merah yang mengunci seorang gadis berambut cokelat sepunggung bergaun putih di dinding.
"Siapa lagi kali ini, Aryn?"
Mata emas terang laki-laki berambut merah itu beralih pada sang penanya. Ia pun menyeringai kecil.
"Putri tunggal si Revis br*ngs*k,” sahut laki-laki berambut merah dengan senyum penuh kemenangan. “Aku dan Reide telah membereskan semuanya sebelum membawanya kemari."